2019, 22 November
Share berita:

Setelah sempat berada pada titik rendah saat ini harga minyak sawit kembali naik. Harga penetapan CPO di Riau mencapai Rp8.113,53 kg , sedang harga TBS umur 10-20 tahun ditetapkan Rp1.682,2 kg. Dengan harga seperti ini petani pasti untung, meskipun kalau tidak efisien keuntungannya sangat tipis.

Meskipun sedang bagus tetapi efisiensi di kebun tetap harus dikejar. Ada periode harga naik dan harga turun sehingga dengan efisiensi keuntungan tetap terjaga, bagaimanapun kondisinya. Prof Sudrajat, Guru Beras Kelapa Sawit, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB menyatakan hal ini.

“ Kiat pertama adalah harus mengembalikan bahan organik seperti pelepah-pelepah dan tandan kosong ke lahan. Masalah bagi petani adalah tandan kosong ini ada di pabrik perlu biaya untuk mengangkut ke kebun. Harus diperhitungkan juga biayanya kalau tinggi ya tidak perlu. Bahan organik yang dikembalikan ke lahan yang ada di kebun saja yaitu pelepah, serasah gulma dan memelihara ternak dengan tujuan kotorannya untuk kebun,” katanya.

Fungsi bahan organik adalah memperbaiki sifat fisik tanah, mengurangi penguapan dan secara tidak langsung mikroorgansime tanah disekitar gawangan menggemburkan tanah sehingga kesuburannya meningkat
.
Pengendalian gulma dengan harga sekarang bisa menggunakan kembali herbisida, tetapi harus diperhatikan harga dan efikasinya. Apalagi bila tenaga kerja mahal dan langka maka menggunakan herbisida merupakan opsi.

Ketersediaan air sangat penting apalagi dalam musim kemarau seperti sekarang. Petani harus membuat rorak dan guludan untuk memanen air ketika musim hujan dan digunakan selama kemarau. Ketersediaan air menjadi salah satu kunci menjamin produktivitas.

.Meskipun bahan organik dikembalikan ke tanah karena kunci berkebun sawit adalah produktivitas maka pemupukan kimia harus tetap dilakukan. Kalau tidak dipupuk maka 1-2 tahun kedepan produktivitas akan rendah sekali. Kalau harga CPO dan TBS tinggi petani akan gigit jari karena produksi kebunnya rendah sekali.

Baca Juga:  Solidaritas bersama Pekerja dan Pengusaha: LAWAN COVID-19 di Industri Sawit

Dengan harga sekarang maka penggunaan pupuk kimia bisa 100% sesuai rekomendasi dengan produktivitas normal. Tetapi kalau harga rendah seperti kemarin bisa dikurangi 50-60 % saja dari rekomendasi. Produktivitasnya juga hanya 80-90% dari produktivitas normal. Secara ekonomi ini lebih menguntungkan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemupukan ini adalah pupuk yang digunakan. Petani kelapa sawit tidak mendapat alokasi pupuk bersubsidi sehingga harus membeli pupuk di pasar bebas. Saat ini banyak produsen pupuk yang abal-abal dan petani sawit merupakan salah satu targetnya.

Penelitian beberapa mahasiswa IPB di lapangan menunjukkan pupuk abal-abal ini masih banyak yang beredar di kebun sawit petani. “Petani jangan membeli pupuk palsu, harus dibeli dari perusahaan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pupuk palsu pasti kandungan N,P,K nya dibawah standar. Jangan sampai sudah mengeluarkan uang yang didapat pupuk dengan kandungan hara rendah. Kualitas pupuk sangat penting,” kata Sudrajat lagi.

Sudrajat merekomendasikan petani menggunakan pupuk majemuk dengan kandungan N 12%, P 7-8 % dan K 17-22% untuk tanaman menghasilkan. Unsur K nya harus lebih banyak karena pada umumnya petani lebih suka yang N nya lebih banyak karena daunya lebih hijau.

Pupuk yang digunakan petani sebaiknya pupuk majemuk. Penggunaan pupuk tunggal seperti urea akan mudah hilang karena penguapan dan pencucian. Tenaga dan waktu kerja penggunaan pupuk tunggal juga lebih banyak.

Pupuk majemuk harganya lebih tinggi tetapi dari sisi efisiensi tenaga kerja lebih baik. Produsen pupuk majemuk juga banyak. “Sekarang anak petani banyak yang sudah melek internet. Sebaaiknya cek websitenya dulu untuk melihat bonafiditas perusahaan dan kinerja pupuknya berdasarkan hasil penelitian. Kalau perusahaannya tidak dikenal jangan dibeli, “ katanya.

Jangan membeli pupuk majemuk berdasarkan harganya yang murah saja. Ada harga ada kualitas. Harga murah tetapi kualitasnya rendah tidak ada gunanya, karena petani mengeluarkan uang juga dan produktivitas tinggi tidak tercapai.

Baca Juga:  PPKS : LAKUKAN SKALA PRIORITAS KULTUR TEKNIS SAWIT PADA PANDEMI COVID-19