2023, 25 September
Share berita:

Oleh: Petrus Tjandra (Pemerhati Kelapa)  

Saat artikel ini ditulis Indonesia tengah menjadi tuan rumah World Coconut Day atau Hari Kelapa Sedunia yang berlangsung di Kabupaten Gorontalo dari 21 hingga 25 September 2023. Tentu ini suatu penghargaan bagi kita namun juga menjadi momentum perenungan bagi kita untuk bertanya apakah kelapa Indonesia sudah sustain. Faktanya Direktur Eksekutif International Coconut Community (ICC), Jelfina Alouw, dalam paparannya menyampaikan harapannya, agar tidak lagi terjadi lagi penurunan luas kebun kelapa di Indonesia yang pada tahun 2022 tercatat seluas 3,7 juta hektar, turun menjadi 3,3 juta hektar di tahun ini. Sementara, produktivitas kelapa Indonesia semakin jauh tertinggal oleh Vietnam, Malaysia, dan India. Rata-rata produktivitas ketiga negara tersebut mencapai 10 ribu butir kelapa perhektar pertahun, sedangkan Indonesia hanya empat ribuan.  

Ini belum lagi terkait masalah sulitnya mengembangkan industri kelapa terintegrasi di berbagai kawasan di sentra kelapa, karena adanya masalah keterbatasn infrasuktur, biaya logistik yang mahal, serta kendala administrasi ekspor. Sehingga jangan heran meskipun potensi kelapa di Indonesia di daerah Timur cukup tinggi namun industri pengolahan hanya terpusat di daerah Sumatera dan Jawa serta sebagian Sulawesi. Menurut hemat saya harus ada pendekatan yang holistik dalam menangani kelapa yang tidak sekedar mengharapkan kreativitas petani dan pemiliki industri namun juga perlu adanya partisipasi pemangku kepentingan dalam hal ini juga adalah pemerintah.  

Perlunya Pemetaan Terintegrasi

Dalam buku saya yang berjudul “Pengembangan Kelapa secara Holistik” saya mencoba mengambarkan betapa peliknya urusan koordinasi dan betapa tidak sistematisnya kita dalam menangani kelapa. Bagaimana mungkin kita bisa melakukan pengembangan kelapa secara besar-besaran sementara sumber benihnya saja tidak disiapkan jauh-jauh hari. Sementara saat ini pemerintah melakukan pengembangan kelapa genjah secara besar-besaran yang notabene tidak memiliki keterkaitan dengan mendukung industri strategis yang membutuhkan kelapa dalam atau hibrida. Saya juga ragu apakah kita sudah melakukan pemetaan kawasan. 

Baca Juga:  Kementan Kick Off Padi Gogo Lagi, Kali Ini di Bone Bolango

Sementara itu saat kita ingin mendukung penyediaan bahan baku untuk industri, selain terkait penyediaan bahan baku, tentunya harus didukung kelembagaan petani yang handal dalam bentuk koperasi, seperti yang terbangun di industri susu. Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menumbuhkan kelembagaan koperasi kelapa atau sektor riil lainnya? Jangan-jangan selama ini hanya berfokus pada penumbuhan koperasi simpan pinjam. 

Begitu juga untuk penumbuhan industri pengolahan, mengingat ada banyak bagian kelapa yang dapat digunakan sehingga sudah seharusnya ada kawasan khusus industri teringrasi. Sehingga mulai dari sabut kelapa, air, kopra, batok kelapa bisa dimanfaat.  Sementara ini yang terjadi spot-spot dan sangat mengandalkan kreativitas dunia usaha. Jadi pada kawasan yang terdapat industri cocopeat maka seringkali air kelapa tidak termanfaatkan dan menjadi limbah. Sehingga Kementerian terkait sudah seharusnya menyediakan kawasan khusus kelapa yang kemudian didukung berbagai infrastuktur pendukung seperti jalan, listrik, tempat pelelangan kelapa, pergudangan sehingga pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari tumbuhnya berbagai usaha yang terkoneksi melalui pajak.  

Sementara saya juga harus mengatakan bahwa kelapa menjadi bagian dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Pembelian senjata dan pembiayaan perjuangan bangsa tidak lepas dari adanya pendapatan dari perdagangan kopra. Dan, kelapa hingga saat ini masih merupakan komoditas bernilai ekspor. Pada tahun 2020 nilai ekspor sebesar USD 1,17 milyar dengan volume ekspor sebesar 2,11 juta ton. Sementara selama periode tahun 2016 -2020, neraca volume perdagangan kelapa rata-rata pertumbuhan mengalami peningkatan sebesar 7,68% per tahun dan surplus neraca perdagangan kelapa pada tahun 2020 mencapai USD 1,12 milyar dengan catatan dihasilkan dari sekitar 3.3 juta ha kelapa yang sebagian besar sudah tua. Sementara nilai ekspor kelapa sawit sebesar $29,62 miliar pada 2022 diperoleh dari lahan seluas 16,8 ha.  

Baca Juga:  Bisnis Kelapa Kopyor Sangat Menggiurkan

Melihat prospek secara ekonomi tersebut sudah seharusnya perkebunan kelapa Indonesia mendapatkan privalege layaknya kelapa sawit. Belum lagi kelapa menjadi bagian penting dalam konservasi kawasan pantai dan memiliki fungsi sosial budaya, karena tanpa kelapa maka berbagai kegiatan kulturan baik itu upacaya keagamaan, kegiatan budaya dan pembuatan kuliner khas dll tidak bisa dilaksanakan. Sudah seharusnya penyediaan dana komoditas sepertinya hal terjadi pada kelapa sawit terjadi juga pada kelapa.  

Mengapa Kendala Itu Terjadi 

Lalu pertanyaannya mengapa hal tersebut itu terjadi? Karena tidak ada yang menjadi koordinator dalam penataan kelapa Indonesia. Masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri secara tidak harmonis. Sementara fungsi singkronisasi yang dahulunya diembang oleh BAPPENAS sementara tidak berjalan. Sehingga jangan heran pengembangan kebun rakyat tidak singkron dengan pengembangan industri, begitu juga pembinaan kelembagaan maupun penyediaan pembiayaan usaha.  

Menurut hemat saya harus ada lembaga mengambil peran untuk menyusun masterplan, mengkoordinasikan rencana pengembangan yang mana kementerian terkait memberikan dukungan sesuai ketentuan yang ada. Hanya pertanyaanya, siapa yang harus mengambil peran ini. Apakah Dewan Kelapa Indonesia, Kopek, atau apakah harus membentuk Badan khusus? Whateverlah.  Tentu ini adalah masalah utama yang menurut hemat saya harus diputuskan, yang perannya harus memiliki legal standing yang jelas dan mendapatkan dukungan dari semua kementerian dan lembaga terkait.  

Selamat merayakan Hari Kelapa Sedunia. Semoga Kelapa Indonesia tetap nyiur melambai.