Ada sebab ada akibat, begitulah yang terjadi pada menurunnya penerimaan cukai. Menurunnya penerimaan cukai bukanlah tanpa sebab, tapi karena menurunnya produksi rokok nasional.
“Jadi memang produksi rokok menurun 6 miliar batang dari tahun 2015 yang sebesar 348 miliar batang jadi 342 miliar batang atau ini setara dengan minus 1,67%. Tahun 2016 memang lebih rendah dari tahun 2015,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi.
Akibatnya, lanjut Pambudi, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tahun 2016 sedikit menurun dibanding penerimaan di tahun 2015. Pada 2016, realisasi penerimaan bea dan cukai hanya sekitar Rp178,7 triliun sementara pada 2015 mencapai Rp179,6 triliun.
Tak hanya itu, pada tahun lalu Ditjen Bea dan Cukai juga banyak melakukan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal dari 1.474 penindakan di tahun 2015 menjadi 2.259 di tahun 2016. Hal ini menjadi suatu yang positif sebagaimana peta jalan (roadmap) pemerintah untuk secara bertahap mengurangi produksi dan konsumsi rokok.
“Maka dalam hal ini kita akan menindak secara penuh sebagaimana yang didapat di 2015,” tegas Pambudi.
Hal senada dikeluhkan oleh Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo bahwa meningkatnya peredaraan rokok ilegal lebih karena menurunnya produksi rokok nasional. Adapun menurunya produksi rokok nasional lebih karena meningkatnya harga cukai rokok.
“Kenaikan cukai rokok yang tidak dibarengi dengan pengawasan terhadap rokok illegal akan menambah berat beban pengusaha mengingat daya beli semakin turun,” jelas Budidoyo.
Terbukti, berdasarkan catatan data Kementerian Keuangan, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah pabrik rokok berkurang dari 4.669 pabrik pada 2006 menjadi 754 pabrik pada tahun 2016.
Sedangkan berdasarkan hasil survei dari Universitas Gadjah Mada yang menyebutkan peredaran rokok ilegal mencapai 11 persen dari produksi rokok nasional. Artinya, jika produksi rokok 350 miliar batang per tahun, rokok ilegal yang beredar hampir 40 miliar batang. YIN