2016, 9 Mei
Share berita:

Jas merah atau jangan melupakan sejarah itulah yang dikatakan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno. Artinya berkembangnya riset kelapa sawit saat ini janganlah lupa bagaimana masuknya pertama kali.

Memang Indonesia saat ini telah menjadi produsen terbesar crude palm oil (CPO) tapi semua itu bukanlah bisa dilakukan dengan instant. Semuanya membutuhkan proses, besarnya produksi CPO saat ini bukanlah tanpa sebab. Besarnya produksi CPO saat ini lebih karena dahulu kala pada saat pemerintahaan Hindia Belanda, Indonesia sudah menjadi percobaan pemerintah asing untuk jenis tanaman yang menghasilkan minyak emas.

Pada saat itu, beberapa biji tanaman kelapa sawit ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi jalan sebagai tanman hias di Deli, Sumatera utara pada tahun 1870-an. Memang mulanya tanaman tesebut ditanam bukanlah dalam bentuk perkebunan tapi hanya sebagai penghias jalanan agar jalanan tersebut tampak asri nan hijau jika dilewati.

Namun pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat revolusi industri pertengahan abad ke – 19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis kelapa sawit “Deli Dura”. Di Taman Botani Bogor terdapat pohon kelapa sawit yang tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.

“Bahkan kelapa sawit yang ditanam di bogor jauh lebih bagus daripada kelapa sawit yang ditanam di afrika, meski tanaman kelapa sawit itu sendiri berasal dari Afrika,” terang Adlin Umar Lubis, Direktur Pertama Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) kepada perkebunannews.

Menurut pria kelahiran 1940, di tahun 1911 barulah dibangun kebun kelapa sawit secara masal meski belum diketahui saat itu berapa luasnya. Tapi dibangunnya kebun tersbut karena tingginya akan minyak nabati dari luar negeri dan kelapa sawit berpotensi untuk mengisinya karena produktivitasnya yang tinggi.

Setelah itu, barulah tahun 1918 mulailah dibangun penelitian-penelitian. Penelitian dibangun untuk meningkatkan produktivitas lebih tinggi lagi, meski sebenarnya produktivitas yang ditanam di Indonesia awalnya sudah cukup tinggi. Saat itu penelitian kelapa sawit pertama kali diberi nama APA (Algemeene Proefstation der AVROS/Algemene Vereniging voor Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra), meski mulanya lembaga tersebut tidak meneliti kelapa sawit.

Memang AVROS didirikan tahun 1916 tapi mulanya tidak meneliti tentang kelapa sawit, melainkan ke karet, dan teh. Tapi sejalan dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Sumatra, atau dua tahun setelah didirikan lembaga penelitian barulah tahun 1918-lah sebuah perusahaan Belanda (Handle Veronigging Amsterdam / HVA) memiliki Balai Penelitian Sisal sendiri di Dolok Ilir yang secara diam-diam banyak melakukan penelitian kelapa sawit yang menghasilkan beberapa jenis unggul Psifera.

Baca Juga:  PEMERINTAH FOKUS PADA PEMBERDAYAAN PETANI KELAPA SAWIT

“Tidak mau kalah, Perkebunan Negara pada tahun 1963 membentuk Lembaga Penelitian Marihat untuk keperluan penelitian kelapa sawit dan pada beberapa tahun berikutnya berganti nama menjadi Puslitbun Marihat. Sedangkan AVROS sekarang diberi nama Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS),” terang Adlin yang saat ini sudah memiliki 21 orang cucu.

Bahkan dengan berkembangnya kelapa sawit di Indonesia yang saat itu Belanda pun membangun lembaga penelitian dengan nama AVROS, saat itu Indonesia bukan hanya sebagai prousen terbesar, tapi juga memiliki harga premium. Bahkan di perkebunan awal produktivitasnya bisa mencapai 35 juta/hektar/tahun.

Kendati, saat itu produktivitasnya cukup tinggi, ternyata Belanda sudah melakukan riset mengenai klasifikasi kelas, dan produktivitas di perkebunan awal dibangun bisa maksimal karena ditanam di kelas I. Sebab dalam klasifikasi kelas ada kelas I, II, dan III. Sehingga jika benihnya berpotensi untuk mendapatkan produktivitas tinggi tapi jika ditanam di lahan kelas III maka produktivitasnya tidak maksimal. Adapun untuk kategori kelas I yaitu berada di Pantai Barat Sumatera karena tanah vulkanik, rata dan curah hujannya cenderung stabil.

“Artinya dengan benih terbaik dan kondisi tanah kelas I maka produktivitasnya tidak heran bisa mencapai 35 ton/hektar/tahun,” ucap Adlin yang juga alumni dari LPP Yogyakarta.

Lebih lanjut, menurut Adlin, dengan produktivitas sebesar itu jika rendemennya 20% saja maka akan menghasilkan minyak crude palm oil (CPO) sebesar 7 ton. Artinya tidaklah heran jika dahulu Indonesia sudah menjadi produsen terbesar sekaligus harga premium. Sebab dengan kondisi tanah kelas I dan kualitas yang baik maka akan mendapatkan harga premium.

Adapun untuk kelas II daerah sumatera bagian jambi dan sekitarnya dengan produktivitas antara 28 -30 ton/hektar/tahun. Sedangkan untuk daerah Kalimantan masuk wilayah kelas II dan III karena disana banyak lahan gambut sehingga mempengaruhi produktivitas tapi bukan berarti sawit tidak bisa tumbuh disana.

“Maka jika melihat angka sekarang turut prihatin karena dengan total luas areal kuarang lebih 10 juta hektar dengan produksi hanya sekitar 30 juta ton itu artinya produktivitas hanya 3 ton/hektar/tahun. Ini sangat memprihatitinkan,” risau Adlin.

Peralihan Kekuasaan
Namun Adlin, menyayangkan, disaat perkebunan kelapa sawit tumbuh semakin besar karena riset tapi masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, ekonomi perkebunan dapat dikatakan terhenti karena terjadi penurunan produksi perkebunan yang drastis. Hal ini disebabkan kebijaksanaan pemerintah Jepang dalam meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang dengan melakukan pembongkaran tanaman perkebunan dan menggantikannya dengan tanaman pangan. Pendudukan Jepang telah menggoreskan tinta hitam dalam lembaran sejarah perkebunan di Indonesia.

Baca Juga:  APTRI Keberatan Adanya PPN Gula Petani

Keadaan tersebut menjadi semakin parah karena periode konsolidasi pemerintah Republik Indonesia setelah terusirnya Jepang, tanah-tanah perkebunan diokupasi (diduduki) oleh penduduk stempat dan menggantinya dengan tanaman pangan.

“Jadi hancurnya peneliti kelapa sawit yaitu pada saat masuknya pemerintah jepang menggantikan pemerintah Belanda. Sebab saat pemerintah Jepang masuk ke Indonesia semua alat-alat penelitian dibakar dan dihancurkan termasuk arsip-asip mengenai kelapa sawit. maka untuk membangun (riset) kembali terpaksa dari awal lagi,” papar Adlin juga sebagai Alumni Univesitas Sumatera Utara.

Dari sanalah, Adlin menggambarkan, di tahun 1949, Belanda kembali membangun perkebunan kelapa sawit dengan keterbatasan alat, karena alat-alat yang sudah ada hampir semuanya dimusnahkan.Diantaranya yaitu dimasukan benih kelapa sawit yang ada di kebun raya bogor.

Kemudian masuk para peneliti dari belanda ke Indonesia setelah Belanda kembali merebut pemerintah Jepang. Jepang pun meninggalkan Indonesia ketika Nagasaki dan Hirosima diledakan oleh Sekutu. Saat itulah Jepang menyerah tanpa syarat dan kembali ke negaranya.

Lalu, berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 di Den Haag, perkebunan swasta asing yang masih berjalan akan dikembalikan kepada pemiliknya. Program pemulihan perkebunan mulai dilancarkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1951. Sejak saat itu, beberapa perusahaan perkebunan di Jawa maupun luar Jawa sudah mulai beroperasi kembali. Pada Tahun 1952, 98% dari perkebunan karet, 88% dari perkebunan kelapa sawit, dan 80% dari perkebunan serat sudah mulai beroperasi kembali.

Adapun usaha pemulihan perkebunan itu didasarkan enam faktor. Pertama, besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu perkebunan, terutama modal dan alat pengolahannya. Kedua, jumlah modal yang diperlukan untuk mengoperasikannya jika kerusakan dinilai sangat berat. Ketiga, luas lahan perkebunan yang telah dipergunakan oleh penduduk setempat untuk menanam tanaman pangan.

Keempat, jumlah ganti rugi yang ditutut oleh badan atau organisasi yang menyelenggarakan pengelolaan. Kelima, aktivitas pencuri atau perampok lokal yang dapat mengganggu penyelenggaraan perkebunan. Keenam, luas lahan yang diduduki oleh rakyat secara liar (wild occupation).

Namun, saat pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda pada tahun 1957-1958 yang kemudian dikelola sendiri oleh permerintah, terlihat adanya kecenderungan penurunan produksi. Hal ini di sebabkan transisi dalam pengelolaan dan belum siapnya sumber daya menusia untuk menduduki posisi yang ditinggalkan oleh pekerja asing di perushaan tersebut.

Baca Juga:  Korindo Bantu Siswa Papua ke Perguruan Tinggi

Sehingga setelah masa kemerdekaan semua perkebunan milik asing termasuk lembaga riset di nasionalisasi oleh pemerintah milik Republik Indonesia pada akhir pemerintah 1957, maka APA berganti nama menjadi Balai Penyelidikan GAPPERSU atau dalam bahasa Inggris Research Institute of the Sumatera Planters Association (RISPA) yang saat ini menjadi PPKS.

“Kemudian tahun 1980 kita Indonesia sudah bisa memproduksi benih sendiri. Memang dahulu sudah ada benih tapi itu peninggalan Belanda. Sedangkan saat ini sudah diproduksi oleh Indonesia,” ungkap Adlin.

Awal Kebangkitan
Memang, Adlin mengakui saat peralihat lembaga riset yang tadinya dipegang oleh pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia karena Nasionalisasi sempat mengalami kemerosotan. Tapi secara perlahan dan pasti hal tersebut dapat di atasi sehingga produksi perkebunan dapat ditingkatkan lagi. Bangkitnya lembaga riset perkebunan kelapa sawit yaitu ketika adanya bantuan dari world bank (bank dunia).

Memang, world bank memberikan bantuan, tapi bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan kepada peneliti di Indonesia untuk menimba ilmu ke luar dan juga dalam bentuk alat-alat. Jadi peranan world bank saat itu benar-benar berpengaruh terhadap pengembangan riset kelapa sawit di indoensia.

Melihat hal ini maka pemerintah sudah mulai bangkit dan serius dalam menangani kelapa sawit ini. Hal itu seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan akan minyak kelapa sawit hingga akhirnya keluarlah kebijakan untuk menyekeloahkan para peneliti ke luar negeri untuk belajar menganai kelapa sawit dari daerah asalnya seperti afrika dan negara lainnya.

Alhasil, riset tersebut dapat berkembang dengan cepat terutama pada perbenihan. Terbukti saat ini banyak sekali perusahaan benih yang mempunyai divisi riset sendiri. Meskipun harus diakui bahwa para peneliti tersebut tidak sedikit yang dahulunya berasal atau menimba ilmu dari PPKS.

“Saya juga tidak bisa menduga bahwa riset yang ada saat ini bisa bersekmbang dengan pesat khususnya pada sektor perbenihan. Coba lihat saja saat ini sudah ada berapa jenis benih kelapa sawit dengan produktivitas yang tinggi-tinggi, sedangkan jika menengok pada saat pemerintahan Belanda benih masih sangat sedikit,” ucap adlin seraya tersenyum.

Lebih lanjut, Adlin merasa bangga dengan intitusi dimana dia pernah memimpin yaitu PPKS, bahwa saat ini dari penjualan benih tersebutlah PPKS bisa membiayai dirinya sendiri. Lalu dari sana PPKS mulai berekspansi mulai menjual ke daerah pengembangan kelapa sawit seperyi Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, setelah itu baru ke arah Sulawesi, Bangka Belitung dan lainnya. YIN