Pemerintah melalui perundang-undangan yang berlaku mewajibkan perusahaan pemilik Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk membangun kebun masyarakat paling sedikit 20 persen dari luas intinya dan melaksanakan CSR (corporate social responsibility). Namun hal tersebut tidak serta merta menghindarkan perusahaan dari pergesekan sosial dengan masyarakat sekitar. Mengapa demikian?
Arie Malangjudo, pakar perkebunan, menilai pengembangan kemitraan adalah upaya membangun kondisi tumbuh bersama antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya terkonversi kepada keberlanjutan dan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang.
“Kita bisa menyaksikan bagaimana perusahaan yang mengembangkan kegiatan kemitraan yang baik dapat menjalankan usahanya tanpa gangguan dari masyarakat sekitar. Bahkan sebuah perusahaan yang menjalankan kemitraan dengan baik, ketika ada oknum yang berusaha menganggu aktivitas perusahaan, masyarakatlah yang kemudian membela,” kata Arie.
Lebih lanjut, Arie membuktikannya sebuah perusahaan yang tetap eksis dan masih beroperasi hingga saat ini bahkan menuai social support meskipun beroperasi di daerah yang oleh banyak pengusaha dianggap ‘merah’.
Artinya sebuah kesuksesan melalui kemitraan di perkebunan sangat bergantung pada cara perusahaan bagaimana membangun kemitraannya. Setidaknya harus memenuhi tiga prinsip diantaranya pertama, harmony, yakni yang membangun hubungan “suka sama suka” antara dua pihak yang bermitra.
Kedua, equality yang menciptakan kesetaraan antara pihak yang bermitra. Ketiga transparency, yang terjadi ketika adanya keterbukaan antara kedua pihak serta mutual benefit, bahwa hubungan tersebut membangun keuntungan timbal balik.
“Itulah prinsip yang harus dipenuhi ketika melaksanakan kemitraan bagaimanapun bentuknya. Entah itu CSR, pembangunan kebun plasma, penguatan ekonomi masyarakat sekitar dan sebagainya,” terang Arie.
Namun sebaliknya, kata Arie, kemitraan akan gagal dengan sendirinya jika dilaksanakan karena keterpaksaan atau dengan perasaan curiga bahwa pihak tertentu akan diuntungkan sementara yang lain akan dijadikan sapi perahan.
Sementara pendidikan masyarakat yang terlalu rendah juga dapat menjadi faktor penghambat pengembangan kemitraan yang sehat. “Kadang kemitraan terbangun atas inisiantif pemerintah lokal juga sering berakhir pada kegagalan ketika yang terjadi ambigu, antara keinginan sang pemimpin membangun daerah dengan kesempatan bisnis. Hal yang biasa saya sebut simbiosis parasitis,” jelas Arie.
Sementara Gamal Nasir, founder Gamal Institute menilai pentingnya membangun kemitraan yang sehat khususnya pada perkebunan kelapa sawit. “Ketika sebuah perusahaan perkebunan menguasai ribuan hektar, sementara kondisi ekonomi masyarakat kurang baik dan akses mereka terhadap lahan terbatas maka gesekan sosial akan sangat mudah terjadi,” kata Gamal.
Dalam kondisi demikian kemitraan tidak hanya kewajiban namun buffer bagi perusahaan agar dapat sustain. Ketika perusahaan dengan aset yang dimiliki menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar. Sehingga tidak ada lagi “masyarakat yang kelaparan” dan tumbuh bersama. Maka serta merta akan membangun lingkungan usaha yang sehat.
Sayangnya, sejumlah perusahaan masih menilai kemitraan semata-mata kewajiban dan sumber pemborosan anggaran. Padahal sesungguhnya manfaatnya sangat luas. “Sehingga kemitraan seharusnya dipandang sebagai bentuk investasi yang hasilnya akan dipetik dari keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang,” pungkas Gamal. YIN