JAKARTA-. Meskipun sering dianggap kontroversial namun kebijakan Kementerian Pertanian saat ini merupakan sebuah radikalisasi paradigma dalam meletakkan posisi sektor pertanian.
Pada masa Era orde Baru para penyusunan kebijakan ekonomi sangat kental dengan mazhab W.W Rostow, ekonom Amerika Serikat yang dianggap sebagai bapak teori pembangunan dan pertumbuhan, ekonomi sebuah negara berkembang secara linier, dengan meletakkan ekonomi berbasis pertanian pada level dasar dan puncaknya adalah negara industri. Dimana pemikiran tersebut sangat dijiwai dengan spirit evolusionis bahwa sejarah berkembang dari suatu titik awal menuju suatu komplektisitas.
selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dita_hanipah/pembangunan-ekonomi-era-orde-baru_56f88cbf587b613b048b456f bahwa ekonomi sebuah negara berkembang secara linier, dengan meletakkan ekonomi berbasis pertanian pada level dasar dan puncaknya adalah negara industri. Dimana pemikiran tersebut sangat dijiwai dengan spirit evolusionis bahwa sejarah berkembang dari suatu titik awal menuju suatu komplektisitas.
Dalam pemikiran W.W Rostow yang diadopsi para pemikir orde baru pengembangan pertanian adalah prasyarat untuk tinggal landas menuju ekonomi industri, karena pertanian bertanggung jawab menyediakan bahan baku untuk industri dan bahan pangan bagi para pekerja. Tersedianya bahan baku dan bahan pangan murah menjadi syarat meningkatkan daya saing industri. Sehingga pada era Orde Baru pangan diupayakan tersedia dengan harga murah dalam kaitan untuk menekan upah kerja tetap rendah.
Namun dengan perkembangan sejarah, bahwa pengembangan industri tidak serta merta bisa selaras dengan pertumbuhan pertanian. Di pulau Jawa, pertumbuhan industri mau tidak mau harus mengorbankan lahan pertanian. Pemimpin yang masih mengagung-agungkan pemikiran bahwa industrilisasi adalah sumber kemajuan suatu wilayah maka tidak akan merasa cemas ketika lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi kawasan industri atau properti. Ketika harga produk pertanian terjun payung bukanlah hal yang mengkhawatirkan, bahkan itu sebuah keuntungan yang memungkinkan harga bahan pangan tetap murah dan industri bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang kompetitif, tanpa memperhatikan keberlanjutan usaha pertanian dari sisi petani.
Tapi sejumlah peristiwa cukup membuat catatan terhadap optimisme terhadap industrilisasi. Terbakarnya reaktor nuklir Fukhosima akibat gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011 membukakan mata dunia bahwa pengembangan industrilisasi pada satu sisi memiliki efek yang bisa mengancam kehidupan umat manusia. Demikian halnya dengam ledakan anjungan minyak yang terjadi di Teluk Meksiko sekitar 80 kilometer dari Pantai Louisiana pada 22 April 2010. Pencemaran laut yang diakibatkan oleh pengeboran minyak di lepas pantai itu dikelola perusahaan minyak British Petroleum. Ledakan itu memompa minyak mentah 8.000 barel atau 336.000 galon minyak ke perairan di sekitarnya dan daerah pantai. Demikian juga dengna peristiwa pemanasan global yang mengakibatkan iklim ekstrim di berbagai tempat di dunia menunjukkan bagaimana industrilisasi dengan teknologinya dengan mudah membawa dunia pada kondisi yang membahayakan.
Sementara itu pada 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 321 juta jiwa. Se¬lain itu, pada tahun 2045 dunia akan mengalami defisit pangan sebesar 68,8 juta ton. Sehingga masyarakat dunia harus kembali memberikan perhatian pada sektor pertanian. Hal ini membukan mata bahwa penduduk dunia tidak bisa bergantung pada benda-benda kemewahan yang seolah-olah memiliki nilai ekonomi yang lebih menggairahkan. Bahwa pada ikwalnya manusia hanya hidup dengan bergantung pada bahan pangan yang bersumber dari pertanian.
Hal ini menujukkan bahwa pertanian tidak lagi dapat dipandang semata-mata sebagai landasan ekonomi lepas landas melainkan menjadi sebuah mode ekonomi yang sustainability. Berbagai kebijakan pertanian pada menteri pertanian Amran Sulaiman merupakan sebuah paradigm baru dalam memandang sektor pertanian. Bahwa pertanian tidak lagi sebagai supported system melainkan menjadi sumber daya saing negara.Ketika Indonesia menjadi lumbung pangan bagi dunia maka ini berarti Indonesia memiliki sebuah kekuatan secara ekonomi dan politis serta meningkatkan bargain position dalam hubungan Indonesia dengan negara lain.
Upaya yang dilakukan Kementerian Pertanian mulai dari peningkatan produksi pangan, perbaikan tata niaga, perbaikan sarana dan prasarana pertanian, integrasi pangan perkebunan dan peningkatkan pengetahuan masyarakat melalui fungsi penyuluhan adalah berbagai kebijakan strategis yang membukakan mata kita tentang bagaimana pangan tidak lagi sebagai “sub sektor yang perlu dikasihani” melainkan menjadi basis kekuatan ekonomi.
Pengembangan kawasan perbatasan untuk menjadi corong perdagangan Indonesia melalui penyediaan pangan bagi negara tetangga sangat menggambarkan bagaimana sub sektor pangan akhirnya menjadi sebuah kekuatan ekonomi. Jalur-jalur tikus tidak lagi menjadi sumber kekhawatiran penyeludupan produk luar melainkan sumber arus devisa bagi Indonesia.
Jadi pencapaian yang diraih Kementan pada era Menteri Pertanian tidak semata-mata bukti dari moto kerja, kerja, kerja yang sering didengungkan Bapak Amrah Sulaiman melainkan sebagai manifestasi dari sebuah paradigm baru yang seolah meruntuhkan mazhab evolusionis yang menjadi spirit pengembangan ekonomi nasional dan global.
Meskipun demikian tentu saja saya memiliki sebuah harapan agar pencapaian yang diraih Kementan tidak semata-mata menjadi personifikasi capaian Bapak Amran Sulaiman, melainkan juga atas terbangunnya sebuah sistem yang solid. Sehingga ketika Bapak Amran Sulaiman kelak mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari negara, pencapaian yang saat ini tetap lestari sebagai pencapaian sebuah sistem, dan bukan semata-mata buah effort
Penulis: Ir. Gamal Nasir, MS (Founder Gamal Insitute/Ketua Dewan Rempah Indonesia/Tokoh Petani Sawit.)