Bogor, Mediaperkebunan.id
Presiden Joko Widodo pada rapat kordinasi nasional Pembangunan
pertanian tanggal 11 Januari 2021 di Istana Negara, meminta impor gula
yang volumenya jutaan ton per tahun dicari solusinya untuk kemandirian
gula. Harapan presiden tersebut bukanlah berlebihan. Sebab pada tahun
1930-an Indonesia pernah bukan hanya swasembada gula, bahkan menjadi
eksportir terbesar kedua dunia setelah Kuba.
Konsumsi gula di Indonesia memang melaju cepat baik akibat
pertumbuhan penduduk terlebih pertumbuhan industri pangan dan
minuman. Dalam 20 tahun terakhir konsumsi gula naik lebih dua kali lipat
dari 3.2 juta ton tahun 2000 menjadi 7.2 juta ton tahun 2020. Saat ini
konsumsi per kapita gula di Indonesia mencapai 26 Kg per kapita dimana
sekitar 56 persen dikonsumsi secara langsung (direct consumption) dan 44
persen dikonsumsi melalui produk industri pangan dan minuman.
Sesungguhnya produksi gula domestik selama ini bukan turun. Dalam 20
tahun terakhir luas areal tebu masih bertumbuh dari 340.6 ribu ha tahun
2000, menjadi 454 ribu ha tahun 2020. Demikian juga produksi gula
domestik juga naik dari 1.7 juta ton menjadi 2.4 juta ton. Namun laju
peningkatan produksi gula domestik tertinggal jauh dibandingkan
peningkatan konsumsi domestik, sehingga gap antara produksi dengan
konsumsi makin melebar.
Untuk menutup gap tersebut impor gula pun meningkat lebih dari tiga
kali lipat yakni dari 1.5 juta ton menjadi 4.8 juta ton pada periode tersebut.
Hal Ini menyedot devisa sekitar 2 milyar dollar AS setiap tahun.
Impor gula jutaan ton dan makin meningkat setiap tahun inilah yang
membuat Presiden Joko Widodo gusar. Sebab selain boros devisa dan
menjadi beban neraca perdagangan, juga berisiko tinggi pada kemandirian
pangan gula nasional. Indonesia yang penduduknya 270 juta orang, 77
persen kebutuhan gula tergantung pada impor.
Ke depan, jika tidak ada terobosan yang out of box, ketergantungan
Indonesia pada gula impor makin besar. Berdasarkan proyeksi OECD/ FAO,
konsumsi gula Indonesia akan meningkat menjadi 32.2 kg per kapita tahun
2024. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 272 juta orang, maka
Indonesia tahun 2024 memerlukan gula sebesar 8.7 juta ton. Sementara
proyeksi produksi gula domestik (business as usual) hanya sekitar 2.5 juta
ton. Sehingga butuh impor sekitar 6 juta ton.
Untuk mengatasi ketergantungan pada gula impor sebagaimana harapan
presiden, tidak bisa dengan “gigitan-gigitan kecil” (bit by bit) seperti selama
ini yang terbukti tidak mampu mengurangi ketergantungan impor gula.
Butuh cara baru (out of box) dan big-push untuk percepatan produksi gula
nasional agar mampu membangun kemandirian gula nasional.
Tiga terobosan berikut mulai dari dukungan kebijakan dan strategi perlu
dilakukan. Pertama, Melakukan diversifikasi konsumsi dan produksi gula
yakni kombinasi gula putih dan gula merah, dengan memanfaatkan Gula
Merah Sawit.
Produksi Gula Merah Sawit (GMS) dari pemanenan nira batang kelapa
sawit yang telah ditumbang untuk replanting. Menurut riset Pusat Penelitian
Kelapa sawit dari pemanenan yang dilakukan petani sawit, produktivitas
GMS murni mencapai 4.8 ton per ha. Dengan asumsi replanting rate
perkebunan sawit 4 persen per tahun maka dengan luas kebun sawit
nasional 16.3 juta ha, terdapat sekitar 652 ribu hektar kebun sawit yang
direplanting setiap tahun secara berkesinambungan. Dari replanting kebun
sawit ini diperkirakan akan mampu menghasilkan GMS murni sebesar 3.13
juta ton setiap tahun.
Kedua, Pembukaan kebun tebu modern 4.0 atau food estate berbasis
gula tebu di luar Pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua). Food
estate berbasis tebu ini, dengan luasan sehamparan HGU per unit 50 ribu
hektar, sistem mekanisasi, irigasi dan digitalisasi. Kebun tebu 4.0 tersebut
untuk diproyeksikan memenuhi target produksi 3 juta ton per tahun. Kebun
Tebu 4.0 diharapkan dapat mencapai produktivitas 8-10 ton gula/ ha,
sehingga butuh kebun Tebu 4.0 seluas 375 ribu ha di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua.
Ketiga, Kebijakan subsitusi impor untuk mendukung Produksi Gula
Merah Sawit dan Pembangunan Kebun Tebu 4.0 tersebut. Setiap ton impor
gula dikenakan tarif tertentu pungutan impor (import levy). Dana hasil
pungutan tersebut dikelola sebuah Badan Layanan Umum (Badan Dana Gula)
yang akan digunakan untuk membantu pembiayaan Produksi GMS dan
Pembangunan Kebun Tebu 4.0.
Tiga terobosan tersebut merupakan suatu big-push produksi gula
nasional. Selain dari 2.4 juta ton dari kebun tebu saat ini, akan ada tambahan
6.1 juta ton gula yakni 3 juta ton per tahun dari Tebu 4.0 dan Gula Merah
Sawit 3.1 juta ton. Pekerjaan besar ini memerlukan keteguhan/komitmen
yang kuat untuk melaksanakannya. Jika tiga terobosan tersebut dapat
dilakukan segera, diperkirakan dalam 5 tahun kedepan kemandirian gula
akan tercapai. (DR Tungkot Sipayung, Ekonom Agribisnis)