Data penelusuran yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang kebun kelapa sawit menunjukkan dalam 10 tahun terakhir perluasan kebun kelapa sawit semuanya dilakukan pada lahan yang sudah tidak ada tutupan hutan atau semak belukar. Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Belinda Arunawati Margono menyatakan hal ini.
Hasil lain dari penelusuran ini adalah 20% kebun sawit yang ada sekarang sudah ada sejak sebelum tahun 1990. Kemudian 41% kebun kelapa sawit dilakukan dengan membuka tutupan hutan, baik berada di kawasan hutan maupun APL. Sedang 39% lainnya membangun kebun sawit pada lahan yang sudah tidak ada tutupan hutannya, baik dalam kawasan maupun APL.
Tudingan sebagai sawit sebagai penyebab deforestasi terjadi karena interpretasi data yang salah. Metodologi dan terminologi yang digunakan untuk mendefinisikan deforestasi di ranah global berbeda dengan skala nasional sehingga dapat menghasilkan data yang rancu dan mendorong interpretasi keliru terhadap sebuah informasi yang dipublikasikan.
Data global semestinya tidak digunakan untuk level dibawahnya atau dikenal dengan multistage monitoring system. Data Global tidak dapat melihat secara lebih akurat. Selain itu, terdapat perbedaan istilah serta tidak dijelaskan duduk perkara dari kondisi lapangan maupun metodologinya data global sehingga kerapkali menimbulkan kerancuan dan perbedaan interpretasi.
“Data yang digunakan pada skala global tidak dapat digunakan secara langsung dikarenakan metodologi sistem pemantauan level atau skala tertentu yang tidak dapat disamakan pada skala yang berbeda. Jika pemantauan dilakukan secara global, dibutuhkan kalibrasi data dan informasi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada skala nasional,” ungkap Belinda.
Salah satu data global yang digunakan untuk men-judge Indonesia adalah data yang baru-baru ini dirilis Global Forest Watch (GFW) yang merupakan data dari global land analysis and discovery, University of Marryland menyebutkan Indonesia berada pada posisi 10 teratas dengan laju deforestasi tertinggi. Dengan menggunakan informasi tutupan lahan, GFW mengkategorikan hutan primer sebagai area dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%.
“Metode yang digunakan adalah metode biophysical sehingga tidak dapat membedakan jenis hutan secara umum. Sensor dari citra satelit yang digunakan tidak dapat mengetahui apakah hutan yang dipantau adalah savanah, hutan kerdil ataupun lumut. Bahkan hutan tanam dan alam diidentifikasi sebagai hutan yang sama,” tegas Belinda.