JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Pembukaan lahan tanaman eucalyptus di daerah kawasan Toba dan sekitarnya, berpotensi merusak lingkungan. Masyarakat Kabupaten Toba menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Bahkan aksi penolakan warga berlangsung ricuh. Sebagian warga adat Natumingka, di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, mengalami luka-luka karena bentrok dengan pekerja perusahaan perkebunan kayu, PT TPL, Selasa (18/5/21).
Peristiwa itu bermula saat ratusan warga adat menghadang sekitar 400 pekerja dan petugas keamanan perusahaan akan masuk wilayah adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan yang berelasi dengan Sukanto Tanoto ini.
Jusman Simanjutak, salah seorang warga, mengatakan, pihaknya keberatan tanahnya diambil PT TPL. “Sejak tahun 2000 saya memperjuangkan ha katas tanah saya yang diambil PT TPL, tapi justru saya malah dilaporkan ke pihak berwajib,” ujarnya yang kini jadi tersangka.
Jusman menuturkan, aksi warga bukan melawan negara, atau pemerintah. Namun aksi itu semata-mata ingin mempertahankan hak lahan leluhur mereka, nenek moyang masyarakat adat Natumingka. Tanah ulayat seluas 2415,36 hektar tidak akan pernah memberikan sejengkal pun kepada TPL.
“Saat kejadian ada puluhan aparat kepolisian dari Polres Toba, masyarakat adat yang mengalami luka-luka langsung dilarikan ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan,” ujar Jusman saat menceritakan dalam diskusi virtual pada Senin (31/5).
Thomson Ambarita, Lembaga Keturunan Adat Ambarita, menuturkan, dirinya pernah ditangkap saat aksi menolak keberadaan PT TPL. Pada 16 September mengadakan gotong royong menanam jagung di lahan yang diklaim PT TPL. “Padahal itu lahan adat kami, tapi TPL mengklaim miliknya,” ujarnya.
Namun, lanjut Thomson, saat itu sejumlah keamanan PT TPL melabrak warga dan menangkap dirinya. “Jangan tangkap saya, karena saya ingin menanam jagung di lahan adat kami. Tapi mereka tidak peduli,” ungkapnya.
Atas perlakuan itu, Thomson pun mengadukan ke Polsek Damanik. Laporan itu kemudian ditangani Polres Simalungun. Dirinya pun diminta keterangan dan malah ditangkap dijadikan tersangka dan dihukum selama 9 bulan oleh Pengadilan Negeri Simalungun.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas MIPA dan Pertanian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Abdul Rauf, MP menilai, kontribusi perusahaan yang membuka lahan tanaman eucaluptus dapat merusak lingkungan karena perubahan hutan heterogen menjadi homogen. Kemampuan tanah untuk menyerap air menjadi terganggu.
Apalagi lahan yang dibuka di beberapa tempat yang berlokasi di lereng-lereng puncak pegunungan. Meski pun itu lahannya berada di hutan produksi. Namun jika hutannya berada di lereng akan berdampak pada lingkungan.
“Jadi sudah pasti akan terjadi penurunan kemampuan tanah untuk menyimpan air dan terjadinya erosi. Karena berbeda tanaman eucalyptus dengan tanaman lainnya,” tukas Prof Dr Abdul Rauf ketika dihubungi Mediaperkebunan.id, secara terpisah, Senin (31/5).
Prof Abdul Rauf sendiri mengaku pernah berkunjung ke Huta Habisaran dan Silaen. Masyarakat Kabupaten Toba, Sumatera Utara, memang menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang membuka lahan menjadi lahan Eucalyptus. Karena lahan adat diklaim sepihak sebagai milik PT TPL dapat merusak lingkungan. (YR/HP)