Jakarta, mediaperkebunan.id – Benar, tidak sedikit masyarakat yang sudah merasakan manisnya dari budidaya tanaman kelapa sawit, terutama masyarakat transmigrasi atau petani plasma ataupun petani mitra yang tergabung dalam koperasi tani. Meski begitu, masih ada beberapa petani yang belum merasakan manisnya dari tanaman perkebunan kelapa sawit.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Jurnas bersama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam rangka meyambut Hari Tani Nasional.
“Belum bahagianya beberapa petani sawit karena beberapa hal, dan itupun adalah masalah klasik. Contohnya seperti rantai pasok yang panjang mengakibatkan harga turun drastis. Sehingga dalam hal ini perlu penetapan harga yang tegas,” ungkap Yusro Fadly, petani kelapa sawit asal Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Masalah selanjutnya, kata Yusro yakni legalitas lahan. Seperti yang dialami didaerahnya dimana masih terdapat sejumlah petani yang sudah memegang sertifikat, namun lahannya justru diklaim berada dalam kawasan. “Jadi disini masih ada yang diklaim di kawasan lindung, konservasi dan lain-lain,” keluh Yusro.
Bahkan, Yusro mengakui masalah persoalan lahan ada juga yang menyangkut pada petani plasma. Perkebunan yang dibagikan ke petani pada pola tersebut, ternyata ada yang diklaim masuk dalam kawasan. Padahal budidaya tersebut sudah dilakukan sejak lama
Keluhan serupa juga dilontarkan oleh Kanisius Tereng, petani kelapa sawit dari Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Permasalahn yang dialaminya masih seputar lahan yang belum dioptimalkan secara maksimal yakni masih rebdahnya produktivitas.
Selain lahan, petani setempat juga tidak berdaya menghadapi fluktuasi harga panen sawit. Secara keseluruhan. Alhasil, selama tiga tahun terakhir petani mengalami kemerosotan harga, yang berdampak kepada penghasilan. “Saat ini, penghasilan petani sangat memprihatinkan akibat fluktuasi harga” ujar Kanisius.
Guna mengatasi persoalan harga, menurut Kanisius, diperlukan intervensi dari pemerintah. Apalagi, sampai saat ini harga yang ditetapkan pemerintah tidak dilaksanakan oleh pihak perusahaan.
Masalah selanjutnya yang masih menghantui petani kelapa sawit di Kabupaten Pasir adalah proses penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Sampai saat ini, petani belum mendapat surat tersebut, dengan alasan masih diproses.
“Sehingga dalam hal ini saya meminta tolong untuk disampaikan kepada Presiden. Selama ini, STDB, biaya pengurusannya oleh petani sendiri, ” ungkap Kanisius.
Keperihan masalah petani sawit juga dikemukakan oleh Valens Andi, petani kelapa sawit dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Persoalan didaerah tersebut juga masih seputar regulasi pemasaran, yang dinilainya terlalu bebas.
“Ini menjadi ancaman, termasuk bagi petani. Sudah ada Peraturan Menteri (Permen) dan Peraturan Gubernur (Pergub). Tapi di lapangan tidak berlaku,” risau Valens.
Padahal, kata Valens, jika merujuk kepada regulasi, penetapan harga harus berdasarkan tahun tanam yang mengacu kepada Permen ataupun Pergun. “Namun kondisi pasar tidak menggunakan itu lagi. Akibatnya kepastian harga komoditas sawit di lapangan menjadi carut marut,” ucap Valens.
Kemudian, Valens juga mengkritisi Pola Satu Manajemen (PSM), yang menurutnya gagal dalam menjalankannya meskipun polanya sudah baik. Sebab dalam pola tersebut diuraikan bahwa petani bisa memilih yang harus dikerjakan yakni pola bagi hasil atau bayar kredit.
Tapi dilapangan ada beberapa petani yang harus melakukan keduanya yakni sudah melakukan bagi hasil ditambah dengan bayar kredit. “Hal-hal seperti inilah yang harus segera dibenahi,” harap Valens. (YIN)