Jakarta, Media Perkebunan.id
Beberapa hal yang harus segera diatasi kakao Indonesia adalah tingkatkan produktivitas, produksi biji yang didominasi oleh biji non fermentasi dan diskriminasi perdagangan kakao olahan Indonesia yang dikenai bea masuk lebih tinggi dibanding dengan negara lain. Musdhalifah Machmud, Deputi II bidang Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian, menyatakan hal ini.
Hulu harus terus dibenahi untuk mengejar kebutuhan hilir yang semakin berkembang. Indonesia sudah turun dari eksportir nomor 3 menjadi nomor 6, meskipun demikian masih tetap kontributor ekspor ketiga perkebunan terbesar setelah kelapa sawit dan karet.
Produktivitas hulu harus ditingkatkan sedang hilir tingkatkan daya saing. Tahun 2018 ekspor mencapai 333,68 ribu ton dengan nilai USD1,25 miliar setelah itu tidak ada peningkatan yang cukup significant. Impor malah naik volumenya sampai 18% dan nilainya 10%, penyebabnya pasokan dalam negeri semakin berkurang karena produktivitas tanaman turun akibat terkena hama penyakit dan sudah tua.
Kebun kakao yang sudah tua dan terkena HPT harus direvitalisasi. Upaya tahun 2020 dengan pemberian pupuk bersubsidi khusus kakao di sentra-sentra produksi harus dilanjutkan pada tahun 2021 dengan areal yang lebih luas. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kakao sehingga produksi meningkat.
Program Presiden adalah koporasi petani. Pada kakao hal ini sudah dilakukan dengan kemitraan antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti swisscontact dan beberapa perusahaan multinasiobal. Kemenko sendiri sudah menyiapkan konsep korporasi petani yang diharapkan akan meningkatkan produktivitas, kapasitas dan kesejahteraan petani.
Kemitraan yang sudah ada bisa dieskalasi sehingga dapat menjaga keberlanjutan kakao dari hulu sampai hilir sebagai sumber pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan. Dengan pendekatan manajemen korporasi petani diharapkan produksi kakao semakin meningkat.
Kepala Pusat Fasilitasi Kerjasama Setjen Kemendagri Heriyandi Roni menyatakan program SCPP (Sustainable Cocoa Production Program) yang dimulai tahun 2010 tetapi MoU dengan Kemendagri baru tahun 2013, tahun ini sudah berakhir. Program di 10 provinsi 44 kabupaten ini dianggap berhasil.
Program ini diharapkan dapat berlanjut. Pemda di 44 kabupaten yang masuk program ini bisa memasukan hasil SCPP dalam dokumen perencanaan daerah dan memasukkan kakao dalam program unggulan daerah. SCPP sendiri menurut swisscontact berhasil menjangkau 164.300 petani di 10 provinsi 4 kabupaten.
Asgar salah seorang petani kakao dari Bone yang ikut SCPP menyatakan orang tuanya yang petani kakao menyekolahkan dia supaya jadi guru PNS. Ketika ada pelatihan SCPP orang tuanya tidak bisa sehingga dia yang datang mewakili.
Hal ini mengubah Asgar dari tidak tahu apa-apa soal kakao sehingga mengerti banyak. Kebun orang tua yang sudah pesimis dengan masa depan kakao karena produksi hanya 300 kg/ha/tahun diambil alih pengelolaanya dengan menerapkan hasil pelatihan. Sekarang produktivitasnya mencapai 1,5 ton/ha/tahun.