Jakarta, mediaperkebunan.id – Perhatian pemerintah terhadap pekebun sawit rakyat cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan dana PSR yang naik dari semula Rp25 juta/ha, sekarang Rp60 juta. Masalahnya di lapangan masih banyak kendala terutama masalah legalitas lahan. Setiyono, Ketua Umum ASPEPKIR Indonesia menyatakan hal ini pada Rakernas ASPEKPIR.
Saat ini PSR paling banyak dilaksanakan di lapangan adalah dari eks PIR Trans sekitar 90%. Jadi sebenarnya PSR identik dengan Aspekpir, tetapi sekarang era demokrasi ada asosiasi lain ikut serta tidak masalah.
Tahun lalu terjadi banyak penundaan PSR karena petani menunggu kepastian kenaikan dana hibah BPDP jadi Rp60 juta. Sekarang setelah pasti maka banyak pengajuan baru yang sedang dalam proses. Total kebun eks PIR Trans ada 800.000 ha sedang target PSR 180.000 ha/tahun. Lebih dari 20% kebun eks PIR Trans sudah peremajaan.
Bahkan sebelum ada PSR lewat revitalisasi perkebunan sudah ada yang diremajakan. Konsep revitbun lebih bagus karena peremajaan dilakukan dalam satu hamparan. Sedang PSR minimal 50 ha dan jarak antar kebun terjaun 10 km, jadi tidak dalam satu hamparan. Setiyono juga mengusulkan pemetaan wilayah yang siap dengan ketersediaan bibit. Banyak terjadi wilayah belum siap bibit sudah siap dan sebaliknya.
Normansyah Hidayat Syahrudin , Direktur BPDP menyatakan dana hibah PSR yang sudah disalurkan mencapai Rp10 triliun dengan luas 38.000 ha. Di lapangan masih banyak kendala, terutama jalur kemitraan hanya 11% dari pengajuan yang lolos mendapat rekomtek. Masalah terbesar adalah legalitas lahan.
Togu Saragih dari Direktorat Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Ditjenbun menyatakan salah satu kendala utama adalah surat keterangan tidak berada dalam kawasan hutan dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan dan keterangan tidak berada dalam HGU dari Kantor Pertanahan Kabupaten/kota.
Dirjenbun terus berkoodinasi dengan dua instansi ini sebab pemahaman masing-masing kantor pertanahan dan BPKH juga berbeda-beda, ada yang mengeluarkan surat dan ada yang menyatakan tidak perlu. Untuk tidak dalam kawasan HGU sebenarnya mudah tinggal menoverlay antara peta lahan PSR dan peta yang ada dalam aplikasi Bhumi BPN.
Pemerintah tidak bisa menyederhanan proses PSR dengan meniadakan 2 surat keterangan ini seperti banyak usulan. “Dua surat ini adalah dasar legalitas selain SHM. Salah satu rekomendasi BPK juga adanya surat ini ini,” katanya.
Sedang untuk PSR jalur kemitraan masih lambat sehingga Togu minta perusahaan benar-benar melakukan pendampingan pada petani mitranya. Masalah yang sering dihadapi adalah titik poligon yang tidak benar sehingga ketika dilakukan cek lapangan oleh Sucofindo ternyata beda antara titik dan dilapangan sehingga luas usulan jadi berkurang.
Permentan nomor 5 tahun 2025 mewajibkan PSR menanam tanaman sela padi gogo. Dananya berasal dari dana hibah BPDP sebesar Rp60 juta/ha dan alokasi untuk padi gogo menurut Kep Ditjenbun nomor 24 tahun 2025 adalah paling banyak Rp7.832.712/ha untuk benih, pupuk dan tenaga kerja. Dana untuk tanaman penutup tanah digunakan untuk padi gogo.
“Saya minta jangan ada yang keberatan dengan tanaman sela padi gogo. Negara memberikan dana Rp60 juta/ha dan alokasi untuk padi gogo Rp7 juta/ha sebagai peran petani sawit untuk mencapai swasembada pangan. Hasilnya juga bukan untuk pemerintah tetapi sebagai pendapatan sebelum tanaman menghasilkan,” katanya.
Tahun 2025 target PSR adalah 120.000 ha terdiri dari jalur dinas 100.000 ha dan kemitraan 20.000 ha. Sampai 24 Maret 2025 rekomtek jalur dinas 6.985 ha terdiri dari 47 poktan/koperasi dengan 3.072 petani. Sedang jalur kemitraan 1.312 ha terdiri dari 6 poktan/koperasi dengan 611 petani. Total 8.286 ha atau 6,91% dari target.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menyatakan GAPKI sangat berharap PSR berhasil sebab Indonesia membutuhkan peningkatan produksi minyak sawit untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang naik karena biodiesel dan dunia. Saat ini produksi sedang stagnan dan PSR diharapkan jadi terobosan. Perusahaan sendiri banyak yang melakukan peremajaan 4-5% dari luas lahan setiap tahunnya.
PSR jalur kemitraan dalam kenyataan lebih susah dibanding jalur dinas. Karena itu banyak pengajuan melalui jalur dinas setelah rekomtek terbit baru dilakukan kemitraan. Kendalanya adalah verifikasi dilakukan 100% petani pengusul, harus face to face. Hal ini menyulitkan karena banyak lahan plasma dimiliki petani luar wilayah kebun bahkan provinsi, sedang kantor cabang Sucofindo tidak ada di dekat domisili petani. Karena itu GAPKI mengusulkan verifikasi cukup sampling saja.