Jakarta, Mediaperkebunan.id
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Ruandha Agung Sugardima, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada INAPalmoil Talkshow menyatakan tahun 2020 laju deforestasi Indonesia semakin menurun ke level terendah. Deforestasi netto pada tahun 2019-2020 di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia, adalah sebesar 115,5 ribu hektar.
Ini merupakan deforestasi terendah sepanjang sejarah pemantauan hutan di Indonesia. Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan indonesia 2019 menunjukkan bahwa deforestasi netto pada 2018-2019 baik di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 462 ribu hektar. Penurunan ini tidak terjadi begitu saja. KLHK melakukannya dengan intervensi regulasi, intervensi di lapangan dan sebagainya, bahkan modifikasi cuaca.
Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono berharap agar temuan KLHK ini lebih bergaung ke masyarakat global. Apalagi, berdasarkan data pantauan KLHK, penurunan laju deforestasi di Indonesia itu sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan laporan World Resources Institute tahun 2020 yang menyebutkan bahwa tingkat deforestasi hutan di Indonesia terus turun. Untuk pertama kalinya Indonesia keluar dari tiga negara teratas di dunia yang kehilangan hutan primer. “Kita juga punya data sangat kongkrit bahwa laju deforestasi Indonesia turun,” lanjutnya.
Andri Hadi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Belgia Luxemburg, dan Uni Eropa menyatakan European Green Deal (EGD), yang mentargetkan negara-negara Uni Eropa di tahun 2050 sudah mencapai net zero emission akan berdampak pada Indonesia. Sektor kelapa sawit salah satu yang terpengaruh.
Melalui EU Forest Strategy mereka menetapkan syarat traceabillity atau keterlacakan rantai pasok mulai dari hulu sampai hilir. Begitu pula dengan ketentuan tentang “produk hijau” di mana Uni Eropa akan memperketat persyaratan bila komoditas-komoditas kategori Forest and Ecosystem Risk Commodities ingin masuk ke pasar Uni Eropa.
“Apakah ini semata-mata karena mereka mencita-citakan lingkungan yang ideal atau karena diskriminasi, atau proteksionisme. Beberapa negara yang kepentingannya di pasar Eropa terancam, sudah bersiap-siap mengajukan gugatan ke WTO. Ini akan ramai,” katanya.
Isu deforestasi kelapa sawit akan jadi penghalang, sebab aktivitas ekonomi dan investasi di pasar Eropa harus bebas dari isu deforestasi, lingkungan hidup, dan HAM. Namun, meskipun serangan terhadap industri kelapa sawit nasional sangat terasa, tampak ada dikotomi antara kelapa sawit sebagai produk pangan di satu sisi dan produk energi di sisi lain.
Hambatan ditujukan pada biodiesel dari sawit, tapi produk kelapa sawit tetap mereka impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ini terjadi karena produk minyak nabati lain seperti rapeseed, soya, sun flower tidak akan pernah bisa menggantikan sawit.
Meskipun demikian, usaha keras dan serius harus terus digalakkan. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap kelapa sawit Indonesia. Para pelaku industri kelapa sawit juga harus terus menunjukkan prinsip dan praktek keberlanjutan serta kontribusi dalam pencapaian Sustainable Development Goals di berbagai aspek.
Karena itu, sebagai upaya menyebarkan narasi positif. Hadi menyambut baik dan langsung menyebarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menegaskan bahwa laju deforestasi di Indonesia menurun drastis.
.