Segala sesuatu akan lebih bermanfaat jika dimanfaatkan dengan maksimal, tapi sebaliknya jika dibiarkan saja justru akan menjadi mudharat, begitulah konsisi lahan gambut.
Indonesia memang memiliki luas daratan yang cukup besar, yaitu 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². Angka tersebut terbilang cukup besar jika dibandingkan dengan luas daratan negara lainnya yang juga sebagai negara penghasil pertanian.
Namun dari total luas daratan tersebut tidak semuanya masuk kedalam jenis lahan mineral atau lahan yang biasa digunakan untuk pertanian. Diantaranya lahan gambut yang karakteristiknya sedikit berbeda dengan lahan mineral. Hal itu karena lahan gambut memiliki sifat keasam yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan mineral.
Saat ini, menurut data terakhir tahun 2011 menunjukkan luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14,9 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dari angka tersebut lahan gambut yang berpotensi dan sudah digunakan untuk lahan pertanian diantaranya untuk tanaman pangan dan perkebunanan ada sekitar 6 juta hektar.
“Jadi saat ini luas lahan gambut yang seluas 14,9 juta hektar tersebut terdiri dari 6,6 juta hektar luas hutan gambut, 2,2 juta hektar digunakan untuk perkebunan, 1,6 juta hektar untuk hutan tanaman industri (HTI), dan 4,4 juta hektar kondisinya tidak terawatt atau semak belukar,” jelas Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI).
Melihat data tersebut, Supiandi mempertanyakan apakah lahan semak belukar seluas 4,4 juta hektar tidak bisa digunakan untuk lahan pertanian? Sebab, seperti diketahui alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas umum cukup besar. Bahkan angkanya terus meningkat setiap tahunnya.
Artinya melihat hal tersebut tidaklah heran jika masyarakat membuka lahan pertanian dengan izin Pemerintah Daerah (Pemda) agar bisa menghidupi keluarganya. Sehingga apakah salah jika hutan dikonversi sebagai areal penggunaan lain (APL), masuk deforestasi? Sebab alih fungsi tersebut pada dasarnya sudah melakukan izin oleh Pemda.
“Sebab dari data kami, hutan primer yang berubah menjadi lahan pertanian hanya 0,94%, sedangkan sisanya hutan sekunder dan lahan terbengkalai. Tapi hal tersebut sesuai program pemerintah yang saat itu bahwa ekspansi perkebunan diutamakan kepada hutan rusak termasuk diantaranya ada juga lahan gambut yang sudah dilepas oleh pihak kehutanan dengan mengetahui Pemda untuk program transmigrasi,” urai Supiandi.
Disisi lain, Supiandi menambahkan, bahwa pada dasarnya sifat air di lahan gambut itu pun sebenarnya fluktuatif. Sehingga air di lahan gambut bisa meninggi tapi terkadang menurun. Maka dengan kondisi tersebut ada sebagian tanaman yang memang bisa digunakan di lahan gambut. Tapi dengan catatan tetap harus menggunakan pola water managemen (pengelolaan air), sehingga tercipta good agriculture practices (GAP).
Sebab, meskipun muka air tanah lahan gambut selalu basah tapi terkadang di musim kering muka air tanah bisa di bawah satu meter. Maka karena tidak ada sumber air hal tersebut bisa menyebabkan kebakaran. Hal ini karena permukaan lahan gambut berongga sehingga jika ada api di sekitar lahan gambut akan cepat menjalar melalui permukaan lahan. Maka disinilah diperlukan water managemen. Memang biasanya drainase berada dilevel 20-80 cm tapi umummnya paling dalam 80 cm.
“Sehingga jika tanaman kelapa sawit dikatakan rakus air, itu tidak benar. Hal tersebut sudah diteliti oleh para pakar,” tegas Supiandi.
Sekedar catatan, pada Kebun Ajamu (PTPN 4) di Sumatera Utara yang telah menggunakan lahan gambut bisa tetap lestari meskipun saat usianya sudah 60 tahun. Bahkan kebun sawit di Negeri Lama milik PT Socfindo yang saat ini usianya mencapai 80 tahun tetap berproduksi dengan yield 25 ton/ha/tahun. Artinya lahan gambut pun tetap bisa digunakan asal sesuai GAP. YIN
Baca juga : Bubarkan IPOP untuk Kesejahteraan Petani