BANDUNG, Mediaperkebunan.id – Direktorat Jenderal Perkebunan memfasilitasi pertemuan membangun kemitraan usaha perkebunan antara petani atsiri dengan perusahaan perkebunan pelaku pasar komoditas atsiri baik eksportir, pabrikan, retail, dan lain-lain. Kegiatan ini adalah salah satu bentuk dukungan untuk akselerasi Gratieks, terutama di komoditas atsiri.
“Pertemuan ini dimaksudkan untuk membangun hubungan kemitraan antara petani dengan industri/perusahaan perkebunan. Petani setidaknya harus punya gambaran mengenai pendapatan yang diperoleh, “ ujar Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) Hendratmojo Bagus Hudoro pada Rapat Kemitraan Agribisnis Atsiri Indonesia di Bandung, (28/10) lalu.
Kemitraan, kata Bagus, diharapkan tidak hanya berupa jual beli produk, namun petani juga diberikan bimbingan terkait bisnis atsiri dan saling menjaga komitmen serta kerjasama yang baik antara perusahaan dengan petani. Sehingga hasil produksi yang diserap berkualitas, bermutu baik, dan berdaya saing, serta mensejahterakan petani.
Dengan adanya kemitraan, lanjut Bagus, diharapkan tidak akan merugikan siapapun, dan bermitra terjalin dengan komitmen yang baik untuk seterusnya. Kemitraan antara perusahaan dengan pekebun akan menjadi kunci pengembangan sektor agribisnis atsiri nasional ke depan.
Perusahaan juga harus bisa membantu perkebunan rakyat untuk meningkatkan produktivitas, baik melalui pemilihan benih unggul maupun perbaikan tata kelola perkebunan.
Menurut Bagus, dalam pengembangan komoditas atsiri ini tentunya dihadapkan pada berbagai tantangan. Untuk itu pengembangan kemitraan dari on farm hingga off farm merupakan unsur yang sangat penting dalam mendukung pengembangan usaha agribisnis atsiri.
“Karena persaingan pasar global semakin kuat, petani dituntut agar memiliki kemandirian usaha dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan untuk mampu bersaing, sehingga terwujudnya supply produk secara kontinyu sesuai dengan yang dibutuhkan pasar, dan terciptanya keseimbangan supply dan demand terkait jenis komoditi, lokasi, sentra produksi dan kebutuhan serta akses pemasaran akan terjaga jika terjadi kemitraan antara produsen dan konsumen,” jelas Bagus.
Bagus menambahkan, produksi minyak atsiri Indonesia saat ini 1.800 – 2.500 ton per tahun untuk memenuhi permintaan ekspor dan kebutuhan lokal. Jika minyak atsiri dapat diupayakan dengan pengolahan yang maksimal maka akan meningkatkan harga, sehingga dapat mendorong nilai tambah kepada petani.
“Petani dan eksportir/perusahaan penampung tidak akan rugi karena produksi akhir serai wangi dalam bentuk minyak dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama,” kata Bagus.
Menurut Bagus, hal yang perlu diperhatikan pekebun/pebisnis baru jika ingin terjun di seraiwangi antara lain menggunakan benih varietas unggul yang sudah dilepas oleh pemerintah, kesesuaian lokasi tanam 100-600 Mdpl, kesesuaian agroklimat, ketersediaan alat suling yang tidak jauh dari lokasi pengembangan.
Tanaman atsiri sangat berpotensial untuk dijadikan sumber pendapatan petani, dan turut berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) negara, dimana seluruh bagian tanaman pada tanaman atsiri dapat dimanfaatkan, dan dalam hal pemeliharaan pun tidak sesulit dibandingkan dengan komoditas lainnya.
Dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian melalui Ditjen Perkebunan menekankan agar pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, salah satunya berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang dimana tertera dalam Pasal 29 disebutkan bahwa Kemitraan Usaha Perkebunan dilakukan antara Perusahaan Perkebunan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan, dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian sesuai format seperti tercantum dalam peraturan ini, dimana perjanjian kemitraan usaha perkebunan dilakukan paling singkat selama 4 (empat) tahun.
Pada kesempatan yang sama, menurut Trisilawati, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), minyak atsiri digunakan secara luas untuk obat-obatan, kosmetik/parfume, aromaterapi, pestisida nabati, perasa bahkan pengawet makanan. Salah satu komoditas atsiri yang menjadi andalan ekspor antara lain serai wangi, nilam dan akar wangi. Pembudidayaan komoditas atsiri di Indonesia sebagian merupakan pertanaman rakyat yang mana melibatkan ribuan keluarga petani.
“Perlunya pembinaan dan pengembangan atsiri, selain meningkatkan mutu SNI juga meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya untuk meningkatkan mutu dan produktivitas minyak atsiri antara lain menerapkan SOP Budidaya yang optimal, menggunakan varietas unggul, dan pengembangan di daerah yang sesuai (kriteria kesesuaian lahan), serta proses panen dan pasca panen yang tepat,” ujarnya.
Sementara itu, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, turut menyampaikan atsiri di Jawa Barat sangat berpotensi, baik komoditas serai wangi, nilam, maupun vanili. Upaya pengembangan komoditas untuk meningkatkan nilai tambah atsiri terus dilakukan. Salah satunya melalui kegiatan ini menjadi masukan bagi para petani untuk mempermudah tersalurnya hasil komoditas petani, dalam hal ini khususnya atsiri.
“Kedepannya perlu ditingkatkan lagi sinergi dan selaras antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha perkebunan termasuk petani maupun kementerian/Lembaga terkait, serta perlunya sosialisasi terkait penerapan kemitraan usaha perkebunan maupun regulasi perkebunan terkait yang baik dan tepat sehingga pelaksanaan pengembangan komoditas perkebunan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, produksi mapun produktivitas semakin meningkat, bermutu kualitas baik, berdaya saing di pasar global, dan mensejahterakan petani, serta generasi muda dapat tertarik terjun mengembangkan komoditas atsiri termasuk komoditas perkebunan lainnya,” ujar Bagus. (Humasbun/YR)