Jakarta, Mediaperkebunan.id
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sidang tanggal 26 Mei lalu menetapkan 27 perusahaan minyak gorang tidak ada satupun yang melanggar pasal 5 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 terkait penetapan harga. Tetapi ada 7 perusahaan secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar pasal 19 huruf C terkait pembatasan peredaran/penjualan barang dan didenda total Rp71,28 miliar. Majelis Komisi terdiri dari Dinni Melanie, S.H., M.E., sebagai Ketua Majelis Komisi; serta Dr. Guntur Syahputra Saragih, M.S.M dan Ukay Karyadi, S.E., M.E., masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi.
Dalam Putusannya, Majelis Komisi menjelaskan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia. Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52%), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar. Ini mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para Terlapor.
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran. Ini menunjukan bahwa kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil. Dengan demikian para Terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran. Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET.
Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET. Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat.
Perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan. Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Perusahaan itu adalah PT Asianagro Agungjaya denda Rp1 miliar, PT Batara Elok Semesta Terpadu denda Rp15,264 miliar, PT Incasi Raya denda Rp1 miliar; PT Salim Ivomas Pratama denda Rp40,887 miliar, PT Budi Nabati Perkasa, Rp1,764 miliar, PT Multimas Nabati Asahan Rp8,018 miliar, PT Sinar Alam Permai Rp3,365 miliar.
Dalam proses penyusunan Putusan, salah satu Anggota Majelis Komisi, yakni Ukay Karyadi, S.E., M.E., memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh Terlapor patut dinyatakan melanggar pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999