Jakarta, mediaperkebunan.id – Kotak penampung minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) milik PT Pertamina Patra Niaga yang disebut dengan nama UCOllect Box mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan swasta yang terkait dengan produksi dan penyediaan bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF).
Apresiasi itu, seperti dikutip Mediaperkebunan.id, Senin (saat berlangsung sebuah diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (DKT/FGD) yang dilaksanakan oleh Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum lama ini.
Apresiasi tersebut diungkapkan oleh oleh Philippe Micone selaku Direktur PT Noovoleum Indonesia Investama. Dia menyebut, kotak penampung minyak jelantah pertamina UCOllect Box yang merupakan hasil kerjasama Pertamina dan PT Noovoleum Indonesia Investama telah dimulai pada 21 Desember tahun lalu.
Saat ini, kata Philippe Micone, inisiatif pengumpulan UCO melalui UCOllect Box tersebut telah berhasil diterapkan di sembilan lokasi, termasuk di berbagai SPBU milik Pertamina, dengan target mencapai 300 lokasi pada akhir tahun ini.
Philippe menjelaskan bahwa kerja sama dengan Pertamina berjalan cukup sukses karena masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut.
Dengan demikian, sambung Philippe Micone, akan lebih mudah bagi masyarakat untuk menyetorkan minyak jelantah melalui kotak-kotak bermerek yang telah ditempatkan di lokasi strategis.
“Rata-rata, setiap kotak mampu mengumpulkan lebih dari satu ton minyak goreng bekas per bulan, yang sebagian besar berasal dari produsen kecil,” ucap Philippe Micone.
Selain itu, tutur Philippe Micone lebih lanjut, integrasi aplikasi ke dalam MyPertamina memberikan pengalaman yang mudah, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat karena prosesnya langsung antara individu dan mesin.
“Kami akan bekerja sama dengan BRIN untuk menjangkau masyarakat, meningkatkan kesadaran, memotivasi mereka agar datang,” ucap Philippe Micone.
“Kami akan mendaur ulang minyak yang mereka miliki, serta menghitung berapa banyak emisi CO₂ yang berhasil kita kurangi dari kegiatan ini,” ujar Philippe Micone lagi.
Sementara itu, Oki Muraza dari PT Pertamina (Persero) mengatakan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, sehingga memiliki potensi UCO turunan sawit yang besar.
Dia bilang, populasi dan budaya kuliner Indonesia, dengan populasi 276 juta dan tradisi makan gorengan yang kuat menghasilkan UCO dalam volume yang tinggi dari kalangan rumah tangga, restoran dan industri makanan.
“Kita perlu memiliki ekosistem yang terintegrasi di Indonesia, mulai dari pengadaan bahan bakunya, kemudian kemampuan kita untuk memproduksi di kilang terbaru,” beber Oki Muraza.
Menurut Oki Muraza, Indonesia perlu membangun terminal terintegrasi energi baru atau new energy integrated terminal (NIT) untuk SAF di Indonesia agar kita bisa memiliki kemampuan ekspor.
“Kita sedang merencanakan untuk menyuplai ke bandara di kota Denpasar, Provinsi Bali, dan di Cengkareng, Provinsi Banten. Harapannya nanti kita bersama dengan maskapai Pelita Airllines, Garuda, dan maskapai lainnya untuk dapat membuat ekosistem SAF di Tanah Air,” jelasnya.
Senada dengan hal itu, Sigit Setiawan dari PT Pertamina Patra Niaga mengatakan, Pertamina telah memiliki sarana dan prasarana (sarpras) yang telah mapan di seluruh rantai nilai bisnis yang masing-masing akan memiliki peran dalam pengembangan bisnis bahan bakar pesawat berkelanjutan atau SAF.
“Perlu adanya sertifikasi pada setiap jenis dan tahapan mulai dari sisi hulu yaitu pengumpulan minyak jelantah, baik perusahaan atau badan usaha, tahap pengolahan di kilang,” kata Sigit Setiawan.
Kemudian, tambahnya lagi, hingga tahap distribusi, penyimpanan, dan penjualan yang ditangani oleh Pertamina Patra Niaga perlu dilengkapi dengan sertifikasi international sustainability and varbon certification (ISCC).
“Hal ini diperlukan sebagai bentuk tanggung jawab atas emisi yang dihasilkan,” tegas Sigit Setiawan.