Mediaperkebunan.id
Penemuan katalis merah putih oleh CaRE-ITB yang mampu merubah minyak sawit jadi biofuel baik di laboratorium maupun di kilang Plaju, Dumai dan Cilacap merupakan peluang emas bagi petani untuk meningkatkan perekonomiannya. Petani bisa menjadi pemasok TBS yang selanjutnya diolah jadi Industrial Vegetable Oil untuk menjadi bensin sawit (bensa). Sahat Sinaga, Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia menyatakan hal ini dalam Hannover Messe.
Bahan bakar Biohidrokarbon ini harganya harus terjangkau oleh masyarakat. Karena itu minyak sawit yang menjadi bahan bakunya harus memenuhi kriteria harganya lebih murah dari bahan baku yang dipakai selama ini (RBD-PO), pasokannya harus terjamin dan sustainable, biaya transportasi baik bahan baku juga biohidrokarbonnya harus rendah.
“Masyarakat Biohidrokaron Indonesia yang beranggotakan praktisi industri berpengalaman dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi yang khusus bergerak dalam teknologi prosesing bertugas merealisasikannya. Oleh BPDPKS, MBI ditunjuk menyiapkan masterplan, road map dan analisis nilai tambah pelibatan petani dalam biohidrokrbon ini. Supaya bisa dilihat maka MBI membuat model di Pelalawan, Riau,” kata Sahat.
Supaya harga bahan baku bisa murah dan sustainable untuk bensa maka produksi TBS petani harus tinggi yaitu minimal 20 ton TBS/ha/tahun. PKS harus terintegrasi dengan pabrik biohidrokarbon. Rendemen PKSnya harus lebih tinggi dari PKS yang ada selama ini dengan inovasi teknologi. PKS harus dekat lokasi kebun petani.
Petani sendiri harus bertransformasi menjadi korporasi petani dalam bentuk koperasi. Cara kerja yang biasa sendiri-sendiri harus berubah menjadi bekerjasama, memang dalam implementasinya tidak mudah terutama dalam skala besar.
Sebelum integrasi bisnis antara petani dengan produsen bensa ini terwujud, perlu banyak analisis dan pemikiran supaya bisa berjalan. Pengalaman selama ini menunjukkan integrasi PKS dengan petani saja sulit terwujud maka satu-satunya jalan adalah dengan korporasi petani. Hal yang sangat penting adalah petani harus bersertifikat ISPO.
Situasi terkini kondisi petani kelapa sawit adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta tidak lagi menjadikan kemitraan dalam bentuk inti plasma sebagai kewajiban yang harus dilakukan tetapi hanya menampung TBS saja; sebagian besar petani tidak punya akses ke PKS tetapi harus lewat pedagang perantara yang sering berfungsi juga sebagai pemberi pinjaman dana; produktivitas rendah, tidak bersertifikat ISPO sehingga daya tawarnya rendah.
Beberapa penyebab membuat pasokan TBS petani ke pabrik bensa terhambat adalah pasar global minta minyak sawit bersertifikat sustainable sementara sebagian besar kebun petani belum berserifikat ISPO; produktivitas kebun yang rendah membuat pendapatan mereka rendah sehingga selalu berharap harga pada CPO tinggi; kebun petani banyak yang tidak efisien dengan proses bisnis yang tidak benar dan kurang dalam penerapan GAP; biaya transportasi TBS tinggi karena kebun jauh dari PKS juga truk harus menunggu penuh sehingga ada TBS yang kelewat matang.
Akar permasalahannya adalah banyak kebun petani yang berada dalam kawasan hutan; rata-rata lemah dalam penerapan GAP dan manajemen; pemerintah lewat UU nomor 39 nomor 2014 sudah mewajibkan kemitraan tetapi dalam kenyataanya tidak berjalan seperti yang diharapkan.