Garut, Mediaperkebunan.id
Pemerintah sejak tahun 2004 sudah memberi banyak bantuan pada petani kopi di Kabupaten Garut. Sekitar 80% bibit kopi yang ditanam petani berasal dari bantuan pemerintah sedang 20% membeli dari penangkar. Sofyan, Ketua Asosiasi Petani Kopi (APEKI) Garut menyatakan hal ini.
“Kopi merupakan pendongkrak ekonomi pedesaan di Garut. Banyak petani yang terangkat perekonomiannya karena kopi.Petani setelah mendapat bantuan bibit maka 2 tahun kemudian terasa peningkatan pendapatanya karena kopi varietas unggul produksi tinggi,” katanya.
APEKI sendiri beranggotakan 147 kelompok , rata-rata tiap kelompok beranggotakan 30 orang. Luas kebun kopi anggotanya terdiri dari tanaman menghasilkan 3.811 ha, TBM antara 1500-1700 ha. Sekitar 70% kebun kopi berada di tanah Perum Perhutani sedang 30% milik petani sendiri. Sedang tanaman tua dan rusak sekitar 500-800 ha.
Banyak kelompok petani anggota APEKI Garut juga mendapat bantuan pulper dan huller dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ditjenbun. Nilai tambahnya jadi besar lagi karena dari penjual kopi cery berubah menjadi penjual gabah dan green bean. Banyak petani di Garut jadi binaan Dit PPHP Bun lewat dinas pertanian setempat.
Harga jual kopi ceri adalah Rp6200-6300/kg. Dengan bantuan alat pulper, kopi jadi gabah, dari 100 kg jadi 35 kg dengan harga Rp17.000/kg maka pendapatan Rp595.000. Dengan bantuan huller jadi 16 kg green bean. Harga green bean asalan Rp45.000 maka pendapatan petani jadi Rp720.000.
Harga kopi juga relatif stabil, green bean yang grade 1 Rp80.000-100.000/kg. Kunci berbisnis kopi adalah konsisten dengan kualitas. Kualitas ini tidak berjalan seiring dengan kuantitas.
“Kalau kita hanya punya satu karung jangan ngomong 2 karung, kalau sanggupnya hanya 1 kontainer jangan sanggup 2 kontainer. Kadang ada saja yang sanggup memenuhi permintaan grade 1 dalam jumlah besar padahal fasilitas yang dipunyai tidak memadai. Kalau mutu dijaga dengan baik maka bisnis kopi ini akan tetap berjalan,” katanya.
Kopi Garut sebagaimana kopi Indonesia memang dari sisi kuantitas kalah jauh dari Brasil. Tetapi dari sisi kualitas jelas diatas, karena kopi Indonesia dipetik dengan tangan, semuanya petik merah. Sedang Brasil petik menggunakan mesin jadi bercampur antara merah dan hijau.
Selama ini selain diekspor, kopi Garut juga banyak mengisi kafe dalam negeri. Pada waktu pandemi permintaan sempat turun karena banyak yang tutup.
Kopi sudah menjadi gaya hidup anak muda Indonesia termasuk di Garut. Kafe di Garut tahun 2010 hanya ada 9 sekarang sudah 97. Pengemas kopi juga dulu hanya beberapa sekarang ada 68. “Kita harus tetap bermain di kualitas untuk memenuhi kebutuhan kafe-kafe tersebut,” katanya.