2nd T-POMI
2024, 25 Mei
Share berita:

Rembang, Mediaperkebunan.id – Pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2028 dan untuk industri pada 2030, hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Namun, petani tebu di Rembang, Jawa Tengah sedikit pesimis melihat masih ada kendala yang terjadi di lapangan.

Hal itu dituturkan oleh Maryono (49), salah satu tokoh petani tebu di Rembang, ia mengatakan ada tiga permasalahan besar yang saat ini dihadapi petani tebu yaitu permasalahan benih, pupuk, dan insfrastruktur yang tidak memadai.

Maryono yang juga merupakan Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat, Konco Tani Rembang mengungkapnya petani tebu masih kesulitan mendapatkan tebu berkualitas atau sesuai standar, hal ini akan berdampak panjang apalagi benih merupakan fondasi dari perkebunan.

“Selama ini karena kalau cari benih itu di kabupaten sebelah, yang notabene itu sebenarnya bukan benih, (benih) itu sudah perasan ke empat, ke lima, dan dia itu asal tebu muda dipakai untuk bibit/benih. Ini tidak memenuhi standar. Seharusnya kan kita ada inovasi untuk pembenihan di Kabupaten Rembang,” tutur Maryono, Rabu (22/5/24).

Persoalan benih juga semakin rumit karena saat ini petani tebu di Rembang belum mendapatkan sosialisasi tentang benih varietas yang cocok untuk ditanami di kondisi tanah dan geografis yang sesuai untuk menghasilkan kualitas panen yang maksimal.

“Riset untuk benih juga harus didukung, varietas apa yang cocok untuk tanah yang ada di Rembang, Rembang Selatan, Renbang Utara, dan Rembang Barat. Itu kan berbeda-beda. Harusnya kan ada penemuan yang memang benih tebu itu tepat untuk tanah tersebut,” ujarnya.

Baca Juga:  Investasi Sektor Industri Agro Menembus Rp 32,5 Triliun

Selain benih, ketersediaan pupuk menjadi hambatan. Maryono mengatakan petani tebu di Rembang terakhir kali mendapat subsidi pupuk dari pemerintah pada tahun 2021 lalu dan bantuan pupuk dibatasi hanya 2 hektare (ha) untuk satu orang petani.

“Perkebunan tebu kalau hanya punya 2 hektare untuk satu orang petani itu tidak cukup untuk operasionalnya. Sebenarnya petani itu butuh 10 ha ke atas. Ini untuk menutupi biaya sekolah anak, untuk makan, pokoknya untuk keperluan yang memang itu kebutuhan hidup bukan gaya hidup. Kalau kita dibatasi hanya 2 ha untuk pupuk ini akan sulit,” kata Maryono.

Alhasil, terjadi krisis perkebunan tebu di Rembang, banyak petani tebu yang akhirnya memilih alih komoditas lain. Jumlah petani tebu berkurang dratis dari 12.000 petani tebu pada tahun 2022, saat ini hanya sekitar 5.000 petani tebu. Ini membuat perkebunan tebu di Rembang saat ini banyak yang terbengkalai.

Kemudian Maryono menyebutkan infrastruktur juga menjadi kendala. Perkebunan tebu yang ada di Rembang masih menggunakan cara panen manual, belum termekanisasi, hal ini menjadi penghambat padahal dulu, petani tebu bisa menghasilkan panen 10 -15 rit, namun sekarang hanya 2 – 3 rit saja.

“Untuk olah tanah dan perawatan sudah menggunakan mesin, tapi yang belum adalah panennya, sementara petani muda sekarang banyak yang tidak mau panen manual, ingin seperti di pertanian pangan pakai mesin begitu,” sambung Maryono.

Dampak dari penurunan hasil panen tebu di Rembang salah satunya adalah banyak pabrik gula yang gulung tikar karena kekurangan bahan baku akibat tenaga kerja (petani tebu) tidak maksimal. Maryono mengharapkan pemerintah bisa memberikan perhatian kepada kendala petani tebu, ia tetap optimis menuju swasembada gula 2028 jika petani tebu mendapat dukungan campur tangan dari pemerintah.

Baca Juga:  Kementan Lakukan Akselerasi Swasembada Gula

“Saya yakin jika ketiga permasalahan ini dibenahi swasembada 2028 akan mencapai target, ini semua tidak terlepas dari program dan kebijakan pemerintah saat ini. Seandainya teman-teman petani tebu ini semangat untuk bergerak tetapi pemerintah tidak dukung itu juga menjadi masalah,” tutupnya.