2024, 24 April
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id – PKS harus semakin efisien. Permasalahan industri kelapa sawit sekarang adalah berkembang dengan pesat tanpa didukung ekosistem industri permesinan pabrik, akibatnya sangat tergantung pada impor, terutama dari Malaysia. Indonesia ketika mengembangan sawit yang penting ada dulu sehingga ekosistem industri pendukung tidak terbentuk. Lila Harsya Bachtiar, Koordinator Industri Kelapa Sawit, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian menyatakan hal ini.

Beda dengan Malaysia yang dikembangkan bersama-sama dengan industri permesinannya, mereka bekerjasama dengan Jerman untuk menghasilkan mesin dan suku cadang yang presisi. Di sana ada satu kawasan yang isinya pabrik mesin PKS semua dan diantarannya banyak memasok ke Indonesia. Impor mesin PKS Indonesia sangat besar sekali.

Selain mesin PKS, Indonesia juga banyaj mengimpor alat mesin pertanian yang digunakan di perkebunan kelapa sawit  yaitu  dodos, egrek (manual dan mekanik), hand sprayer, brush cutter, traktor roda 4, drone pertanian dan lain-lain.

Juga transportasi untuk pengangkutan pupuk dan kelapa sawit. Alat transportasi yang digunakan adalah dump truck yang digunakan oleh perusahaan perkebunan besar yang jalan kebunnya bagus; , traktor digunakan oleh perusahaan perkebunan besar dan rakyat di areal berbukit yang jalannya jelek. Pick up digunakan oleh perusahaan perkebunan besar dan perkebunan rakyat.

Mesin-mesin di pabrik kelapa sawit konvensional yang banyak mengimpor adalah sterilizer, treshing, screw press, riple mill, depericaper, claybath, vibrating screen, vacuum dryer. Sedang mesin PKS steamless adalah ripener, detacher, winnower, pasteurisation, demesocarper, screw press, filter press.

Indonesia lebih banyak mengimpor alat mesin perkebunan dibanding ekspor sehingga neraca perdaganganya selalu defisit, tahun 2017 USD424 juta, 2018 USD517 juta, 2019 USD516 juta, 2020 USD467 juta, 2021 USD435 juta, 2022 USD429 juta, 2023 USD sampai Oktober USD349 juta.

Baca Juga:  Harga Sawit Kalsel Turun

Program Kemenperin adalah menaikan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) industri sawit karena kenyataannya  masih bisa ditingkatkan. Efek ekonominya kalau ada Rp1 saja masuk ke industri ini maka dampak ekonomi Rp2,2. Kalau tergantung pada Malaysia terus, bila ada yang ingin membangun pabrik lebih canggih dengan penemuan baru, Malaysia tidak mau memberikannya karena akan menjadi pesaing. Jadi teknologi yang diberikan bukan nomor satu.

Alat mesin di perkebunan saat ini dalam negeri truk pengangkut kapasitas produksi 24.000 unit/tahun, utilisasi 2,5%; traktor roda 4 4.200/tahun , utilisasi 30%, TKDN 32,37%; Hand spayer 1,4 juta/tahun, utilisasi 37,66%, TKDN 60,54%; drone pertanian TKDN 27,76% dimanfaatkan untuk pemetaan, photogrammetry, penyemprotan, pestisida dan pupuk cair; brush cutter 31,43%; sedang dalam pembinaan di IKMA dodos dengan TKDN 64,49% , pisau egrek TKDN 60,41%.

Tantangan industri kelapa sawit adalah mengejar ketertinggalan dari Malaysia dalam mesin PKS. Sekarang bahkan yang paling sederhana sekalipun egrek dan dodos masih impor. Pelaku usaha kelapa sawit harus didorong membeli di dalam negeri.

Impor tidak dilarang tetapi menggerus devisa. Kalau dibiarkan terus utilisasi industri dalam negeri tidak naik. Perusahaan kelapa sawit group besar biasanya punya divisi khusus impor alat mesin ini. Ketika melakukan pengajuan rekomendasi impor, Kemenperin akan melihat mana yang tidak perlu impor. “Jadi misalnya mereka ajukan impor 8000 kita bisa saja hanya izinkan 2000,” katanya.