Jakarta, Mediaperkebunan.id
Komisi IV DPR RI menerima penjelasan dari Direktur Utama BPDPKS terkait kinerja dan pemanfaatan penghimpunan dana, hingga mekanisme penyaluran untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dalam program pengembangan sawit berkelanjutan. Demikian hasil kesimpulan/keputusan Rapat Dengar Pendapat ke 3 antara Komisi IV DPR-RI dengan BPDPKS, Senin (17/1).
Rapat yang membahas penggunaan anggaran untuk peremajaan sawit rakyat dan lainnya ini dipimpin oleh Dedi Mulyadi (Wakil Ketua Komisi, F-PG), dilanjutkan oleh Sudin (Ketua Komisi, F-PDIP) dan Anggia Erma Rini (Wakil Ketua Komisi , F-PKB). Selanjutnya Komisi IV DPR RI melalui Panja Pengelolaan dan Pengembangan Sawit Rakyat akan memanggil seluruh pihak terkait pengelolaan dana sawit termasuk diantaranya Komite Pengarah BPDPKS dan perusahaan penerima dana insentif biodiesel.
Komisi IV DPR RI mendesak agar penggunaan dana BPDPKS lebih berpihak kepada peningkatan kesejahteraan petani kelapa sawit, antara lain melalui peningkatan program intensifikasi sawit rakyat, pelatihan SDM hingga dukungan sarana dan prasarana untuk kegiatan kebun sawit rakyat. Selanjutnya Komisi IV DPR RI mendorong Pemerintah melalui BPDPKS untuk meningkatkan alokasi penyaluran pada kegiatan intensifikasi untuk optimalisasi hulu produksi sawit di Tahun 2022.
Komisi IV DPR RI mendesak BPDPKS untuk segera merealisasikan penyaluran dana peremajaan kelapa sawit kepada petani peserta peremajaan berdasarkan persyaratan yang sesuai dengan hasil rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian c.q. Direktorat Jenderal Perkebunan.
Menurut Dedi Mulyadi , saat ini harga CPO sedang tinggi dan yang paling paham adalah ibu-ibu rumah tangga yang mengalami kenaikan harga minyak goreng. Kalau harga sedang tinggi seperti sekarang petani jadi lupa apa yang harus dilakukan, bahwa sawit mereka semakin menua, produkttivitas semakin menurun.
“Pendapatan yang berlipat-lipat malah digunakan untuk membeli rumah, mobil dan lain-lain. Saya mendorong BPDPKS untuk secara simultan mendorong perbaikan kebun rakyat lewat peremajaan supaya meningkat setiap tahun. Capaiannya masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.
Menurut Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS tahun 2021 kinerja PSR memang menurun yaitu hanya 42.212 Ha dibanding tahun 2020 90.033 Ha. Penyebabnya rekomendasi BPK pada Ditjenbun bahwa lahan harus clear and clean sebelum rekomtek diterbitkan.
Semua proposal PSR yang masuk harus dibawa ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah untuk diperiksa apakah masuk dalam kawasan hutan atu tidak dan ke kantor Badan Pertanahan Nasional untuk diperiksa apakah tumpang tindih dengan hak peruntukkan lain.
“Hal ini membuat percepatan PSR menurun karena proposalnya banyak. Perlu waktu untuk membuat peta poligon yang akurat karena di KLHK dan BPN akan dioverlay dengan peta yang ada pada mereka,” katanya.
Masalah lainnya adalah tingginya harga TBS. Petani memanfaatkan momentum ini dengan menunda PSR. Banyak yang terdaftar ikut PSR kemudian mundur. PSR bersifat sukarela jadi petani bebas mau ikut atau tidak.