Jakarta, mediaperkebunan.id – Bioetanol dulu atau swasembada gula terlebih dahulu? Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) menjadi bahasan. Menurut Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu, dalam pasal 1 ayat (1) telah tersebut dengan jelas swasembada terlebih dahulu lah yang harus tercapai, baru penyediaan bioetanol.
“Jadi yang perlu dicapai adalah swasembada gula dulu, kemudian bioetanolnya harus jelas apakah berasal dari molases yang merupakan produk samping Pabrik Gula atau dari nira tebu langsung jadi bietanol, “ kata Soemitro. Hal ini disampaikan pada diskusi publik bertajuk Bensin Hijau: Akankah Lestari dan Ekonomis? yang diselenggarakan oleh The Conversation Indonesia (TCID).
Kalau berasal dari molases maka perlu volume tebu empat kali lipat daro sekarang. Saat ini menurut data luas lahan tebu mencapai 500.000 ha meskipun Soemitro meragukannya, karena itu data harus diperbaiki lagi. Dengan luas sebesar ini maka kalau dari nira tebu langsung jadi bioetanol sangat riskan sebab Indonesia masih tergantung pada impor gula.
Dalam Perpres disebutkan untuk mencapai swasembada gula konsumsi tahun 2028 harus ada tambahan lahan 700.000 ha. Kalau panen 2028 berarti tahun 2027 sudah ditanam, berarti sekarang petanya sudah ada mau tanam dmana, untuk mempersiapkan benih yang cocok sesuai kondisi lahan. Kecuali menggunakan benih dengan perbanyakan kultur jaringan atau di Merauke yang benihnya 100% impor dari Australia. Jangan sampai ada ketergantungan pada benih impor.
Sekarang sesuai Perpres yang 500.000 ha harus ada peningkatan produktivitas 93 ton tebu/ha/tahun dari sekarang 65 ton dan rendemen 11,2% dari sekarang yang rata-rata 6%. Sesuai Perpes 6 bulan setelah terbit harus suda ada peta jalan swasembada gula. “Berarti awal tahun 2024 seharusnya peta jalan itu sudah ada tetapi sampai sekarang saya belum pernah lihat. Seharusnya sekarang sudah sosialisasi,” kata Soemitro.
Bahan baku bioetanol yang mudah ditanam dan setahun kemudian panen adalah tebu. Tetapi tidak ada ketegasan dari pemerintah bahan baku apa yang dipilih. Kalau 2 juta ha lahan tebu di Merauke menjadi sumber bioetanol maka harus ada 100 PG di sana. “Saya minta kita semua serius. Kalau tebu yang dipilih serius tingkatkan produktivitas yang ada sambil memperluas lahan,” katanya.
Efendi Manurung, Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Kementerian ESDM mengakui bahwa terdapat banyak tantangan dalam pengembangan bioetanol sehingga implementasinya masih jauh dari rencana. Namun, menurutnya, ini bisa diatasi dengan mendorong semua potensi yang dimiliki oleh Indonesia seperti misalnya jagung, kelapa sawit, pohon nipah, dan sorgum manis.
Refina Muthia Sundari Manager Riset Traction Energy Asia menyebutkan bahwa berdasarkan kajian Traction tahun 2022, alih fungsi lahan dan gas N2O yang dihasilkan dari aktivitas pertanian termasuk kontributor emisi terbesar (hampir 60%) dalam praktik perkebunan.“Apabila tidak ada diversifikasi, justru akan semakin menjauhkan Indonesia dari target pengurangan emisi,” jelasnya.
Refina mengusulkan penggunaan alternatif selulosa yang dapat diperoleh dari limbah kelapa sawit. Tak hanya itu, Refina merekomendasikan pemerintah untuk membuat kawasan ekonomi khusus yang akan mendorong ekonomi regional di kawasan masing-masing. Ini sekaligus untuk memperpendek rantai pasok sehingga lebih ekonomis dan ramah lingkungan