2021, 25 Juni
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Kelapa sawit bersama dengan tebu dan teh, adalah komoditas perkebunan yang harus terintegrasi dengan unit pengolahannya. TBS (Tandan Buah Segar) harus segera masuk ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) untuk menjaga mutu CPO (Crude Palm Oil). Pada masa lalu ketika awal keberadaan petani lewat PIR mekanismenya sudah sangat bagus sekali.

Petani setor TBS ke koperasi kemudian jual ke PKS dengan harga sesuai penetapan pemerintah, Pembayaran tidak cash carry tetapi dalam jangka waktu tertentu yang dikenal oleh petani sebagai hari gajian. Pembayaran cicilan kredit petani untuk pembangunan kebun diambil dari hasil penjualan TBS. Hendra J Purba, Direktur Eksekutif Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia menyatakan hal ini.

Kemudian berkembang petani swadaya, ada petani PIR yang membuka kebun pribadi dan ada petani baru. Petani swadaya tidak berlembaga seperti petani PIR. Mereka menjual TBS ke tengkulak karena tidak punya akses ke PKS. Harganya tidak sama dengan harga penetapan pemerintah karena tengkulak mengambil keuntungan. Dari tengkulak masuk lagi ke pedagang besar yang punya DO ke PKS. Harga yang diterima petani swadaya semakin tergerus.

Harga penetapan pemerintah berbeda untuk setiap umur tanaman. Bagi petani plasma perusahaan punya data anggota koperasi A tanaman umur berapa, koperasi B umur berapa. Selain itu karena mereka merupakan mitra mendapat pembinaan bagaimana panen yang benar. TBS yang masuk dijamin mutunya sesuai speks pabrik.

Pedagang besar sering kesulitan memenuhi DO yang dminta PKS. Mereka mengimingi-imingi petani plasma untuk menjual TBSnya ke mereka dengan harga lebih tinggi dari penetapan. Selain itu mereka cash and carry. Beberapa petani plasma terbujuk oleh ulah pedagang ini sehingga disinilah awal mula kehancuran kemitraan. Contohnya banyak koperasi plasma di Kalbar rontok karena munculnya loading ramp.

Baca Juga:  Benih adalah Embrio Kesuksesan Pembangunan Perkebunan

Selain itu banyak juga pekebun yang sudah lunas cicilannya memutuskan untuk menghentikan kemitraan supaya bebas menjual ke PKS yang mau memberi harga tinggi. Pekebun ini juga biasanya lepas dari kelembagaan sehingga kemitraan tidak berjalan.

Ada koperasi yang memutuskan berhenti karena memang sudah mampu secara manajemen dan ingin punya PKS sendiri. Pada kasus ini selama petani bernaung dalam kelembagaan ekonomi kuat sama sekali tidak masalah. Sayang jumlahnya hanya sedikit.

Masuknya TBS petani swadaya juga menimbulkan istilah grading pada PKS. Karena diambil dari kebun yang berbeda-beda dengan umur beda dan perlakukan beda, juga banyak yang menggunakan bibit ilegitim maka pabrik harus melakukan grading lagi sebelum TBS diolah. TBS yang tidak memenuhi syarat akan mempengaruhi rendemen secara keseluruhan. Sedang pada petani plasma karena sudah dibina mutu TBSnya terjamin.

Saat ini grading sudah umum di PKS karena mutu yang masuk beragam. PKS sangat mengharapkan supaya TBS yang masuk bermutu semua. Karena itu ASPEKPIR minta kemitraan diperkuat kembali supaya tujuan ini tercapai.

“Salah satu program utama ASPEKPIR Indonesia saat ini adalah memperkuat kemitraan kembali. Upaya peningkatan produtivitas harus merupakan upaya bersama antara petani dan perusahaan. PSR dan Permentan 18 tahun 2021 merupakan jalan untuk meningkatkan kemitraan pekebun dengan perusahaan,” kata Hendra.

Kemitraan harus kembali disambung antara perusahaan dan pekebun. Saat ini banyak petani kelapa sawit yang tidak mengerti tentang bibit ilegitim dan kesulitan mendapatkan pupuk. Petani juga harus melembaga . Disinilah peran perusahaan bisa masuk. Mata rantai yang panjang yang selama ini panjang harus diperpendek kembali.

Hubungan pekebun dengan PKS tidak lagi hanya sekedar jual beli tetapi harus kemitraan. Petani mendapat pembinaan panen yang baik sehingga tidak perlu grading lagi di pabrik. Salah satu program ASPEKPIR adalah meningkatkan kemitraan yang sedang berjalan dan mengikat kembali kemitraan yang sudah terputus, terutama pada kelembagaan yang menurun kinerjanya setelah lepas kemitraan. Sedang petani swadaya kalau mau bermitra ASPEKPIR juga siap membantu.

Baca Juga:  PP Gambut Memukul Investasi

Petani juga kalau sudah kemitraan harus berkomitmen untuk menjual TBSnya pada pabrik yang membina. “Banyak kejadian petani yang sudah menjalin kemitraan malah menjual pada pihak lain yang berani membeli dengan harga tinggi. Hal ini harus dihindari,” katanya.

“Kemitraan harus bermotif bisnis yang saling menguntungkan dan sejajar. Kedua belah pihak harus punya komitmen. Kalau semuanya untung pasti kemitraan akan terus berjalan. Saat ini koperasi-koperasi petani sawit yang maju sebagian besar adalah koperasi yang bermitra dengan perusahaan,” kata Hendra lagi.

Perusahaan juga diminta serius dalam pembinaan sehingga petani bisa menerapkan GAP dan TBS yang dihasilkan mutunya sesuai speks pabrik. Kerja PKS menjadi lebih ringan karena tidak perlu grading lagi dan dari keuntungan PKS sebaiknya ada insentif bagi petani selain harga sesuai kesepakatan. Perusahaan menyisihkan sebagian keuntungan pada petani yang mampu memberikan TBS berkualitas. Dengan cara ini kemitraan akan semakin langgeng.

Sesuai UU perkebunan maka kedepan tidak ada lagi pemasok TBS dalam bentuk CV atau PT tetapi koperasi petani atau kelembagaan ekonomi petani lainnya. Tentu tidak bisa drastis dilakukan tetapi secara bertahap. Rencana Pemprov Jambi yang akan menyusun zonasi pasokan TBS petani ke PKS dan harus bermitra patut didukung.

Pemprov Jambi seperti dikatakan Kadisbun Agusrizal sudah ada perda yang mengatur supaya PKS tidak boleh membeli TBS yang kebunnya jauh dari lokasi pabrik. Pemprov sedang menghitung kapasitas pabrik dan luasan kebun yang diperlukan. Nanti lewat pergub langsung dimitrakan antara PKS dengan petani di zone itu.