Jakarta, mediaperkebunan.id – Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan bahwa alokasi Fatty Acid Methyl Este (FAME) sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2018 (3.2 Juta Kilo Liter) dan di tahun 2021 menjadi 7.815 juta Kilo Liter. Apabila ditotal jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2021 berada di angka 32.98 juta Kilo Liter (KL).
Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B 40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjanga dalam mewujudkan ketahanan energi nasional.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan bahwa pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatakan kesejahteraan petani yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional.
“Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan,” ujar Elis.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan, Alin Halimatussadiah mengungkapkan, “bahwa kebijakan mandatori biodiesel termasuk kebijakan yang progresif. Target yang terus diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat.”
Alin menambahkan, jika skenario yang ditetapkan semakin progresif maka semakin cepat dan besar defisit crude palm oil (CPO) yang terjadi mengingat keterbatasan pada sisi supply. “Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan skenario B50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada,” tandas Alin.
Untuk itu program peremajaan sawit mendesak dilakukan. Hal ini disampaikan Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian. “Lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) karena banyak yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga koordinasi kami dengan Kemenkoperkonomian maupun KLHK tetap intensif agar persoalan ini dapat diselesaikan,” kata Heru.
Heru pun mengakui bahwa memang proses bisnis sawit memang harus dilakukan dengan kemitraan yang kuat, antara perusahaan dengan petani.
Sekjend Jokowi Centre, Imanta Ginting juga menjelaskan bahwa realisasi pola kemitraan petani sawit dengan program implementasi mandatory biodiesel yang sudah berjalan sejak tahun 2015 sampai dengan saat ini, kekurangan dan kelebihan serta skema kemitraan yang terbaik dalam menyukseskan transisi B30 ke B40. (yin)