Jakarta, mediaperkebunan.id – Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Sujarwo mengakui bahwa dengan adanya kolaborasi atau kemitraan antara petani dan indutri dalam hal ini pabrik gula (PG) adalah kunci dalam peningkatan sustainability (keberlanjutan) ketersediaan gula nasional.
“Jadi dengan melakukan kolaborasiyang baik maka dapat meningkatkan produksi gula,” kata Sujarwo dalam Webinar Mewujudkan Modernisasi Gula Negara Seri 1 yang diselenggarakan oleh PT Riset Perkebunan Nusantara.
Lebih lanjut, Sujarwo menjelaskan dari sisi suplay produksi gula nasional menghadapi tantangan dalam trade-off penggunaan sumberdaya lahan untuk non-tebu. Lalu, Locus terpusat di Jawa Timur dan Lampung dengan konsentrasi sekitar 77. Kemudian, dari 62 PG dengan kapasitas sekitar 316 ribu ton TCD -Integrasi vertical antara petani/kelompok tani/ koperasi dan PG masih belum optimal. Ini artinya ada signal masalah dalam sustainability di on-farm dan PG.
Sedangkan dari sisi demand, jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) impor gula mengalami naik turun. Pada tahun 2018 sebesar 5,02 juta juta ton, tahun 2019 sebesar 4,09 juta ton, sedangkan tahun 2020 sebesar 5,53 juta ton.
Menanggapi hal tersebut maka perlu adanya dorongan pembangunan pergulaan nasional dari sisi petani, lembaga petani dan PG.
Hal ini penting, mengingat tebu sebagai komoditas strategis dibutuhkan dalam sustainabilitas produksi gula nasional harus berupaya mereduksi gap produktivitas melalui tata kelola produksi tebu dan perbaikan teknologi usaha tani.
Perbaikan teknik budidaya tebu dan juga termasuk di dalamnya introduksi bibit unggul diperlukan dalam pola kemitraan –integrasi vertical, kolaborasi untuk skala ekonomi dan efisiensi, serta perwilayahan komoditas.
Koperasi petani tebu harus wujud sebagai kesadaran pentingnya berlembaga bagi petani untuk efisiensi usahatani dan kemudahan transaksi.
Sehingga dalam hal ini perlu mengkreasikan sinergi hulu-hilir perspektif kolaborasi jangka panjang, mereduksi asimetri informasi. “Jika realitas terjadi adalah bermitra lebih tinggi benefitnya dibandingkan tidak bermitra maka petani akan memilih bermitra. Mekanisme penetapan aturan dan ketentuan-ketentuan bersama harus dihormati semua pihak –Musyawarah dalam penetapan contract,” saran Sujarwo
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (UNILA) Bustanul Arifin melihat adanya kebijakan yang saling bertentangan yakni swasembada gula vs industri gula rafinasi kemudian kurangnyaterobosanteknologi: pembibitan vs bongkar muat ratun serta persoalan sistem tebu berbasis ratun secara umum Lalu, disinsentif bagi petani tebu: petani kecil harus menunggu selama 9-10 bulan untuk cashflow. Tidak ada insentif keuangan untuk mendukung cashflow 2-3 bulan
Belum lagi adanya distorsi kebijakan: Kebijakan Harga Eceran Maksimum (HET) tidak dapat dilaksanakan, karena harga gula di pasaran jauh di atas harga HET Kemudian, perlu dilakukan pembenahan kelembagaan: Sistem pembelian langsung tebu yang pragmatis,fleksibilitasimporgula mentah terlebih selama pandemi Covid-19. Terakhir, Permerin3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Industri. “Sehingga dalam hal ini juga diprlukan keselaraan kebijakan antar Kementerian/Lembaga,” ungkap Bustanul.
Melihat masalah ini, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen pihaknya meminta pemerintah fokus pada upaya intensifikasi ketimbang langkah ekstensifikasi yang mengandalkan perluasan lahan. Pasalnya, gairah petani untuk memperluas area penanaman akan timbul jika produktivtas tebu dengan benih unggul bisa dicapai. (yin)