Jakarta, Mediaperkebunan.id
Indonesia saat ini selain sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar, juga produsen dan pengguna biodiesel terbesar di dunia lewat program B30. “Tidak ada negara lain seperti Indonesia yang sampai B30. Ini merupakan industri yang sepenuhnya dari bahan baku lokal diolah disini. Tahun ini tidak ada rekomendasi ekspor biodiesel sehingga sepenuhnya untuk keperluan dalam negeri dan berdampak pada keberlanjutan sawit,” kata Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam webinar nasional Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional yang diselenggarakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.
Program ini memang tidak langsung terkait dengan petani, tetapi pasti dalam biodiesel yang dihasilkan ada kontribusi TBS petani di dalamnya. Untuk menjaga keberlanjutan bahan baku maka Kementerian ESDM kedepan mendorong supaya biodiesel harus berasal dari CPO yang bersertifikat ISPO. Saat ini anggota Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) baru diminta secara sukarela untuk meninjau apakah bahan bakunya sudah berkelanjutan atau belum.
Pemerintah mentargetkan tahun 2025 kontribusi energi baru dan terbarukan terhadap bauran energi nasional mencapai 25%. Sampai akhir tahun 2020 sudah 11,5% dan sepertiganya berasal dari biodiesel. Dengan program B30 saat ini Pertamina tidak lagi mengimpor solar. Tetapi impor bensin malah naik terus sehingga program green biofuel gasoline yang berasal dari sawit terus dikembangkan, teknologinya di dalam negeri sudah ada.
Industri sawit semakin besar dan strategis bukan hanya meningkatkan kinerja sektor pertanian saja tetapi aspek publik yaitu enegi. Dengan produksi minyak sawit tahun 2020 yang mencapai 50 juta ton atau 20-23% dari total biomassa sawit. Dengan teknologi yang ada sekarang biomassa sawit juga bisa jadi energi.
Contoh cangkang sawit yang mencapai 5,5% dari total biomassa sawit, sekitar 7 juta ton. Saat ini sebagian diekspor dan sebagian lagi digunakan di dalam negeri sebagai energi. Pembeli dari luar negeri saat ini menawarkan harga yang lebih tinggi, melebihi kemampuan pengguna dalam negeri seperti PLN.
“Dengan kondisi ini ya sudah cangkang biar diekspor saja. Kita ganti menggunakan biomassa sawit lain seperti pelepah, tandan kosong, fiber, batang sawit dan limbah cair yang belum diekspor. Dengan menjadikan sumber energi maka limbah ini punya nilai keekonomian,” katanya.
Dari limbah cair bisa jadi biogas untuk kebutuhan rumah tangga juga kendaraan. Sedang pelepah, batang, fiber bisa jadi pelet. Dadan mengarahkan biogas dan pelet ini sebagai bisnisnya petani. Petani sawit akan dilatih memproduksi bio gas dan pelet.
Eddy Abdurachman, Direktur Utama BPDPKS menyatakan program mandatory biodiesel adalah upaya menciptakan demand CPO di dalam negeri. Dalam rangka itulah BPDPKS dibentuk tahun 2015.
Dampaknya adalah meningkatnya konsumsi domestik sehingga mengurangi ketergantungan kepada pasar ekspor CPO. Sebelum tahun 2015 rata-rata rentang (standar deviasi) pergerakan harga CPO adalah USD138,11/MT. Setelah ada kebijakan mandatory biodiesel harga CPO lebih stabil dengan rara-rata rentang harga CPO USD94,3/MT.
Dana yang sudah tersalur tahun 2020 Rp28,01 triliun total Rp57,72 triliun. Volume biodiesel tahun 2020 8,42 KL. Pengurangan emisi gas rumah kaca akibat program ini adalah 34,68 juta ton CO2e. Nilai tambah industri hilir sawit meningkat Rp36,57 triliun.