Jakarta, mediaperkebunan.id – Kementerian Pertanian (Kementan) sangat konsen terhadap peningkatan produksi atau ketersediaan komoditas pertanian termasuk perkebunan terutama produktivitas komoditas hingga memiliki kualitas yang bernilai tambah dan berdaya saing dipasar dunia.
Hal tersebut sesuai arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo agar seluruh jajaran Kementerian Pertanian mendorong petani agar dapat mengembangkan atau menggenjot produksi komoditas perkebunan.
Salah satu agenda dalam Nawacita adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik, dengan sub agenda peningkatan kedaulatan pangan yang salah satu sasarannya yaitu “1000 desa pertanian organik.”
Adapun untuk Tanaman Pangan 600 desa, Hortikultura 250 desa, dan Perkebunan 150 desa. Pengembangan desa pertanian organik pada subsektor perkebunan akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.
Dimana tahapan dalam pelaksanaannya adalah penetapan calon petani atau calon lahan CP/CL pada tahun 2015, tahapan inisiasi berupa sosialisasi dan pengadaan input/sarana prasarana produksi pada tahun 2016, penyiapan dokumen, persiapan sertifikasi, sertifikasi produk, dan apresiasi produk organik pada tahun 2017 sampai dengan 2019.
Berdasarkan informasi dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya diketahui bahwa BBPPTP Surabaya memiliki 7 kelompok tani binaan di kabupaten Lumajang yaitu 2 kelompok tani Desa organik dan 5 kelompok tani Kawasan organik dan siaga OPT dengan luas total seluruhnya mencapai 160 hektar (Ha) dan merupakan areal terluas di indonesia untuk pertanian Organik, serta 1 Kelompok Tani pada Kegiatan Regu Pengendali OPT yang berada di Kecamatan Senduro.
Dari 7 poktan hanya 2 poktan yang memiliki produk bubuk, Greenbeen, Roasbeen. Sebagian besar lahan kopi Desa Organik dan Kawasan Organik berada di wilayah perhutani, sehingga menyebabkan beberapa kendala dalam proses sertifikasi serta pengembangannya.
Untuk meningkatkan kualitas kopi maka Kementerian Pertanian melalui BBPPTP Surabaya melaksanakan Bimtek Pasca panen kopi pada tanggal 8-9 September 2020, di Kelompok tani Tani Makmur Jaya Desa Pasrujambe, Kecamatan Pasrujambe, Kabupaten Lumajang. Pertemuan diawali dengan penyampaian teori pasca panen kopi, kemudian dilakukan praktek.
Pada kesempatan yang berbeda, Kresno Suharto Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya mengatakan, agar petugas balai baik PBT maupun POPT memberikan layanan kepada kelompok tani atau masyarakat Perkebunan secara maksimal, mulai dari hulu hingga hilirnya. Jika petani menguasai hulu hilir maka insya Allah mereka akan sejahtera.
”Diharapkan petani dapat menerapkan praktek pasca panen kopi sehingga rasa kopi akan meningkat dan nilai jualnya akan lebih tinggi,” kata Kresno.
Kresno menerangkan, adapun materi yang diberikan untuk pasca panen dan proses pengolahan kopi antara lain kualitas kopi ditentukan oleh 60% budidaya, 30 % pasca panen dan pengolahan dan 10 % barista atau penyeduh.
Tidak hanya itu, disitu juga dinilai seberapa besar cacat mutu biji kopi Indonesia seperti, 13,48 % Berlubang (Hama Bubuk Buah), 36,94 % Hitam ( Petik Muda), 3. 7,85 % Pecah (Huller Kurang Tepat), 37,70 % Warna Coklat, Berkulit Ari, Bertutul-tutul (Fermentasi Dan Huller Kurang), 3,83 % Berbatu, Bergelondong, Campur kerikil-Tanah (Sortasi Longgar), faktor yang mempengaruhi kualitas kopi.
Adapun untuk varietas atau klon yakni varietas tertentu dapat menghasilkan mutu fisik dan citarasa baik, akan tetapi ada juga sebaliknya. Kemudian tinggi tempat penanaman makin tinggi tempat penanaman mutu citarasanya akan semakin baik.
Sedangkan untuk kejaguran tanaman yakni tanaman yang pertumbuhannya kurang sehat akan menghasilkan mutu fisik dan citarasa yang kurang baik. Kemudian, untuk penggunaan penaung yakni tanaman kopi yang dinaungi cukup citarasanya lebih baik dibanding dengan yang tanpa dinaungi.
Lalu, tingkat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti serangan hama dan penyakit dapat menurunkan mutu fisik maupun citarasa kopi biji. Kemudian, mutu petik buah yakni buah yang dipetik pada saat masak optimal mutu fisik dan citarasa lebih baik dibanding dengan buah yang dipetik racut.
Selanjutnya , proses pasca panen yakni pengolahan basah akan menghasilkan mutu lebih baik dibanding olah kering. Penyimpanan buah kopi yang kurang baik dapat menimbulkan cacat rasa. Terakhir pengolahan kopi yakni olah keringyakni natural, dan wine dan olah basah yakni semiwash, fullwash, honey.
Menurut Waris, Ketua Kelompok Tani Tani Makmur Jaya, Desa Pasrujambe, Kec. Pasrujambe Lumajang, Pekebun antusias dan semangat untuk belajar proses pasca panen kopi, karena dengan mengolah kopi secara benar tentunya akan menambah pendapatan.
“Harapan kami agar selalu dibina, didampingi, dicarikan info pasar dan berharap juga alat pasca panen kopi. Karena ada beberapa kelompok tani yang dilatih belum memiliki alat pasca Panen,” pungkas Waris.