Jakarta, Mediaperkebunan.id
Peraturan Menteri Perindustrian nomor 10/2010 memberi insentif pada PG baru dengan impor raw sugar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, karena perlu waktu untuk meningkatkan produksi tebunya. Selain Itu investasi membangun PG integrasi dengan kebun tebu cukup besar sehingga diberi kemudahan dalam memenuhi kapasitas produksinya. Supriadi, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Ditjen Industri Agro Kemenperin menyatakan hal ini dalam Webinar Peragi.
Insentif ini diberikan paling lama 7 tahun untuk PG di luar Jawa, 5 tahun untuk PG di Jawa dan 3 tahun untuk perluasan PG. “Kita sangat ketat dalam memberikan insentif ini. Setiap tahun kita evaluasi pemenuhan bahan baku tebunya. Kalau hanya sedikit maka kita kurangi. Kalau tidak ada kita cabut insentif impor raw sugarnya. Kita tidak mau PG dengan kapasitas besar tetapi hanya mengolah tebu sedikit dan tidak pernah bertambah secara significant,” katanya.
Masalah utama kenapa produksi gula stagnan bukan pada PGnya tetapi bahan baku tebu yang kurang. Solusinya juga bukan membangun PG baru tetapi memperluas penanaman tebu dan meningkatkan produktivitas.
“Dengan PG yang ada sekarang sampai 2023 sebenarnya tidak lagi diperlukan PG baru. Tumbuhkan saja kebun tebunya. Tumbuhnya PG baru dengan kapasitas besar-besar ternyata tidak meningkatkan produksi gula karena tidak disertai dengan tumbuhnya kebun tebu. Perluas kebun tebu sampai 1 juta ha, PG yang ada sekarang masih mampu mengolah dan swasembada bisa dicapai,” katanya.
Industri gula yang diharapkan Kemenperin adalah yang terintegrasi dengan kebun tebu baik milik sendiri atau kemitraan dengan petani. Kapasitasnya dengan skala ekonomi yang optimal. Terintegrasi dengan industri hilir misanya etanol. Alternatif solusi pendorong PG berbasis tebu sendiri adalah kemitraan yang baik antara petani PG dan petani tebu, penyediaan lahan tebu yang clear and clean khususnya di luar Jawa, peningkatan daya saing tebu.
Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan menyatakan tahun 2020 luas tanaman tebu dibanding 2019 semakin meningkat yaitu 420.505 ha dari 411.435 ha, produksi tebu 29, 73 juta ton dari 27, 72 juta ton, produktivitas 70,72 ton/ha dari 67,39 ton/ha. Hanya rendemen turun jadi 7,17% dari 8,03% sehingga produksi gula turun jadi 2,13 juta ton dari 2,22 ton, produktivitas hablur 5,07 ton/ha dari 5,41 ton/ha.
Untuk mencapai swasembada gula konsumsi 2020 Kementan mentargetkan intensifikasi 200.000 ha dengan mitra PG BUMN di Jawa dan ekstensifikasi 50.000 ha dengan mitra PG swasta di luar Jawa. Targetnya adalah peningkatan produksi 676.000 ton.
Tahun ini pengembangan tebu baru seluas 10,700 ha. Ada rencana penambahan sampai 17.000 ha tetapi masih dalam pembahasan. Kemampuan APBN untuk perluasan lahan hanya 10.000-15.000 ha/tahun. Sisanya diharapkan pembiayaan lewat KUR dan investasi.
Kementan juga tidak mau bertumpu sepenuhnya pada tebu sebagai sumber pemanis. Tanaman yang dieksplorasi sebagai pemanis lain adalah stevia dengan potensi 10.000 ha, kelapa dengan potensi 3,38 juta ha, lontar/siwalan, aren dengan potensi 62.000 ha, kelapa sawit dengan potensi 2,78 juta ha batang kelapa sawit yang diremajakan.
Stevia menjadi pilihan karena di Eropa konsumsi gula rendah kalori di semakin meningkat; permintaan pasar global diperkirakan naik senilai USD473 juta euro tahun 2024. Stevia akan menggantikan posisi pemanis buatan; produsen stevia juga terbatas.