Malang, Mediaperkebunan.id
Tanaman kapas merupakan salah satu komoditas yang pengembangannya dibina oleh Kementerian Pertanian . Kebijakan yang ada pada awal pengembangan, komoditas ini diarahkan untuk mendukung industri tekstil di Indonesia, yang termasuk industri besar. Nurindah, Prof Riset Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Puslitbangbun, Balitbangtan menyatakan hal ini.
Dukungan kebijakan tersebut termasuk penetapan areal pengembangan seluas 50.000 ha dan target produksi yang dapat mensubstitusi kebutuhan serat kapas untuk industri tekstil hingga 10%. Akan tetapi, sejak dikembangkannya komoditas ini pada tahun 1980an dengan berbagai dukungan proyek nasional dan internasional, pencapaian luas areal dan produksi serat tidak tercapai, bahkan saat ini hampir seluruh kebutuhan serat kapas (99,9%) untuk industri tekstil dipenuhi dari impor.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya minat petani untuk menanam kapas, sebagai akibat dari inefisiensi dalam pengolahan serat dan pola kemitraan yang ada, sehingga margin keuntungan petani dalam budi daya kapas sangat minim.
Di lain pihak, industri tenun tradisional yang dibina oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM), Kementrian Perindustrian, sangat membutuhkan bahan baku serat kapas lokal. Industri tenun tradisional ini merupakan salah satu sektor yang diunggulkan oleh Kemenperin untuk menjaga national heritage dan menyejahterakan pengrajin tenun tradisional.
Ketersediaan bahan baku dari kapas lokal sangat terbatas, karena produktivitas seratnya sangat rendah, sedangkan benang kapas yang diimpor pada umumnya kualitasnya rendah karena berupa benang sintetis (kadar serat kapasnya rendah), karena keterbatasan modal untuk memperoleh benang dengan kualitas baik. Akibat dari penggunaan benang impor dengan kualitas rendah ini adalah hasil kain tenun yang kualitasnya rendah-sedang, nilai jualnya rendah, bahkan dapat terjadi iritasi pada pengguna kain tenun dengan bahan benang sintetik.
Beberapa penenun yang masih mempertahankan ketradisionalannya, menggunakan serat kapas dari tanaman kapas lokal (Gossypium barbadense) yang produksi seratnya sangat rendah dan penanamannya terbatas. Oleh karena itu, untuk mengembalikan tenun tradisional menjadi produk yang berkualitas dan bernilai seni tinggi, serta meningkatkan produksinya, maka penyediaan serat kapas di lokasi sekitar industri tenun ini menjadi hal yang perlu segera dilakukan, melalui introduksi varietas unggul kapas dan teknologi budi daya pendukungnya, serta penanganan pasca panen yang efisien.
Balitbangtan telah banyak menghasilkan teknologi budi daya, termasuk pelepasan lebih dari 20 varietas unggul nasional, dan penanganan pascapanen kapas yang efisien. Melalui diseminasi introduksi varietas unggul baru kapas untuk mendukung industri tenun tradisional di NTT pada tahun 2016-2018, teknologi yang diintroduksikan diterima dengan baik oleh petani dan pengrajin tenun.
Oleh karena itu, untuk mencapai target peningkatan kesejahteraan petani, pemanfaatan teknologi hasil Balitbangtan, diperlukan kebijakan yang terkait dengan pengembangan kapas untuk mendukung IKM kain tenun tradisional.
Untuk mencapai hal itu diperlukan kebijakan yang mempertimbangkan: dimanfaatkannya teknologi hasil penelitian dan pengembangan komoditas kapas (varietas unggul, sistem bud daya yang efisien dan ramah lingkungan, dan penggunaan alat pemisah serat yang tepat guna) untuk mendukung revitalisasi industri tenun tradisional skala kecil-menengah. Diciptakannya program sinergi antara Balitbangtan sebagai penghasil teknologi input, yaitu teknologi hulu yang berperan penyediaan bahan baku, dengan Ditjen IKM Kemenperin sebagai pembina pengrajin tenun tradisonal, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mewujudkan tercapainya SDGs.