2018, 21 Februari
Share berita:

Manusia harus sadar bahwa disaat energi yang berbahan baku fosil habis maka energy terbarukan yang berbahan kelapa sawit adalah jawabnya, sehingga sudah seharusnya kelapa sawit dilindungi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Bambang dalam Seminar Nasional dengan tema “Kiat Sukses Replanting dan Meningkatkan Produktivitas Sawit Secara Berkelanjutan, di Jakarta, (21/2).

Bahkan, menurut Bambang, dengan melindungi kelapa sawit sama halnya dengan melindungi petani. Hal ini karena menurut data yang dihimpuntahun 2017 kemarin dari total luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai 14,02 juta hektar, sekitar 5 juta hektar dimiliki oleh petani.

“Jadi dengan membenahi perkebunan petani sama saja juga juga membenagi perkebunan kelapa sawit, karena tidak sedikit kontribusi petani terhadap komoditas kelapa sawit,” terang Bambang.

Diantaranya, Bambang menjelaskan, yaitu masalah replanting. Sebab dari sekitar 5 juta hektar tersebut, sebanyak 2 jutaan hektar tanamannya sudah tua dan tidak sedikit yang menggunakan benih tidak bersertifikat. Alhasil produktivitasnya pun jauh dibawah potensi yang seharusnya.

Seperti diketahui, bahwa produktivitas tandan buah segar (TBS) perkebunan milik petani hanya sekitar 10 – 12 ton/hektar/tahun. Padahal potensinya bisa mencapai 30 ton/hektar/tahun. “Artinya dengan meningkatkan produktivitas perkebunan petani sama saja dengan meningkatkan kesejahteraan petani,” tegas Bambang.

Melihat fakta tersebut, Bambang menganggarkan untuk replanting perkebunan kelapa sawit milik petani tahun 2018 ini yaitu seluas 185 ribu hektar. Namun, untuk melakukan replanting tidaklah semudah membalikkan tangan.

“Sehingga replanting ini menjadi tanggung jawab semua,” tegas Bambang.

Wajib Membantu Petani
Hal ini karena, menurut Bambang, dalam program replanting melibatkan semua pihak. Diantaranya Pemerintah Daerah (Pemda) selaku penanggung jawab yang mengeluarkan izin, perushaaan selaku pembeli hasil petani, dan produsen benih selaku penyedia bibit untuk petani.

Baca Juga:  Menghadapi Eropa Jadilah Gajah Janganlah Jangkrik

“Atas dasar itulah maka kedepan petani wajib bermitra dengan perusahaan sebagai pembeli hasil petani ataupun sebagai bapak angkat,” himbau Bambang.

Sebab, Bambang menerangkan, lahirnya perkebunan kelapa sawit milik petani adalah pola kemitraan atau pola inti rakyat (PIR), dimana perusahaan sebagai mitra atau inti dari perkebunan milik rakyat tapi bukan pola manajemen satu atap.

Ini karena jika menggunakan manajemen satu atap maka hak penguasaan atas lahan petani dikuasai oleh perusahaan atau semuanya dikelola adalah perusahaan dan petani tinggal menerima hasilnya. Pola seperti itu tidak mengedukasi petani atau masyarakat.

Pola seperti itu berbeda dengan pola kemitraan atau inti plasma dimana perusahaan sebagai bapak angkat petani hanya menerima hasil dari petani, dan memberikan pelatihan-pelatihan kepada petani bagaimana cara budidaya yang baik sesuai good agriculture practices (GAP).

“Jadi pola kemitraan atau inti plasma berbeda dengan pola manajemen satu atap,” ucap Bambang.

Maka, Bambang kembali menghimbau kepada petani, “bagi petani yang sudah bermitra dengan perusahaan sebaiknya dijaga dengan baik atau bila perlu lebih dieratkan kembali. Namun jika perusahaan dirasa petani sudah tidak memihak kepada petani silahkan mencari mira yang lebih baik. Tapi juga jika perusahaan sudah melakukan hal yang terbaik untuk petani, petani juga jangan menjadi anak yang durhaka.” YIN