Jakarta, Mediaperkebunan.id
Kelapa sawit punya potensi memitigasi perubahan iklim. Aksi mitigasi dari kegiatan integrasi perkebunan dan pengolahan meliputi manajemen lahan, budidaya perkebunan, transportasi, penggunaan energi dan pengolahan limbah. Iswanto, Koordinator Gangguan Usaha, Perubahan Iklim dan Kebakaran Lahan, Direktorat Perlindungan Perkebunan, Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini pada Webinar Kontribusi Kelapa Sawit Berkelanjutan Terhadap Target Net FoLU (Forestry and Other Land Use) 2030 dan LTS-LTCR (Long Term Strategy for Low Carbon Climate Resilience) 2050 yang diselenggarakan UNDP-SPOI.
Manajemen lahan dilakukan dengan mengkonversi lahan yang stok karbonya rendah seperti lahan terlantar dan padang rumput. Dengan cara ini budidaya sawit dapat meningkatkan serapan karbon. Jika budidaya sawit dilakukan di areal yang sebelumnya berhutan maka akan menghasilkan emisi.
Sedang pada budidaya aktivitas yang bisa menghasilkan mitigasi adalah penyiapan lahan yang menghindari terjadinya emisi; penyiapan lahan tanpa bakar; menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk urea; pada perkebunan kelapa sawit yang ada di lahan gambut pembasahan kembali (rewetting) lahan gambut yang telah terbuka, perbaikan tata air dan penghijauan; penggantian bahan bakar fosil pada kendaraan operasional dan peralatan pendukung perkebunan dengan biofuel.
Pengangkutan kelapa sawit dari kebun ke pabrik menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, dengan penggantian bahan bakar fosil ke biofuel maka transportasi sudah melakukan mitigasi. Energi yang digunakan di PKS terdiri dari bahan bakar fosil serta listrik pada mesin produksi serta fasilitas operasional. Pengolahan limbah dengan methane capture dilanjutkan pengolahan aerobic atau pemanfaatan langsung untuk land aplkasi dilengkapi dengan sistem by-pass POME ke kolam terbuka.
Supiandi Sabiham, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB menyatakan dari 16,3 juta Ha kebun kelapa sawit di Indonesia yang terdapat di lahan gambut mencapai 2,43 juta Ha dan terbesar di Sumatera 1,85 juta Ha. C organik dalam tanah mineral 1-2% saja, sebagian besar 1,5% sedang gambut 30-56% umumnya >45% dengan variasi ketebalan gambut 1-7 m (yang terbanyak >2 m). Potensi emisi yang cukup besar.
Hasil penelitian Supiandi, emisi kelapa sawit dari kelapa sawit di lahan gambut umur 15-16 tahun dengan pengukuran sungkup otomatis setiap 30 menit , dekomposisi serasah diukur dengan menggunakan metode trenching menunjukkan emisi permukaan lahan gambut 76,6 ton, terbesar autotrof 36,6 ton/Ha/tahun, heterotof 27,7 ton/Ha/tahun dan dekomposisi serasah 12,4 ton/Ha/tahun. Autrotof semakin tua akan semakin besar karena akar berkembang, sedang heterotof relatif stabil. Penyerapan CO2 juga tinggi mencapai 57,6 ton/Ha/tahun sehingga emisi Netto di atas kanopi kelapa sawit adalah 19 ton/Ha/tahun.
Nilai emisi kelapa sawit yang selama ini dijadikan rujukan berdasarkan penelitian Page juga Hooijer, dengan metode subsiden 86 juta ton – 95 juta ton untuk lahan gambut yang didrainase sama sekali tidak realistis. Jumlah ini tidak memperhitungkan jumlah fluks CO2 yang diserap kembali oleh tanaman. Penggunaan nilai kontribusi relatif dekomposisi terhadap subsiden terlalu tinggi 92%.
Tahun 2020 emisi GRK FoLU diprediksi 988 juta ton, terjadi kenaikan 244 juta ton atau 8,5%. Penyebabnya masih ada deforestasi dan emisi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut 2,43 juta Ha. Perlu ada upaya siginificant untuk menurunkan emisi FoLU termasuk perkebunan kelapa sawit. Perkiraan emisi CO2 akibat deforestasi hutan rawa baik primer maupun sekunder adalah 7,44 juta ton.