kebijakan energi nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang akan habis dengan memanfaatkan sawit merupakan solusi dari krisis energi.
Kebutuhan bahan bakar premium (fosil) di Indonesia meningkat rata-rata 10 persen per tahun. untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kendaraan bermotor yang terus bertumbuh setiap tahun, sekitar 60-70 persen dari konsumsi masih kita impor sehingga selain menguras devisa negara yang cukup besar juga membuat ketergantungan pada impor.
Diproyeksikan menjelang tahun 2050 cadangan energi fosil dunia akan habis. Selain itu, premium yang merupakan bahan bakar minyak fosil, yang akan habis suatu saat juga menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang mengotori atmosfir bumi. Oleh karena itu premium fosil bukanlah sumber energi yang bekelanjutan. Untuk membangun ketahanan energi yang berkelanjutan kita perlu beralih kepada sumber energi yang berkelanjutan yankni dapat diperbaharui (renewable), rendah emisi GRK, berbasis sumberdaya domestik agar hemat devisa serta tidak tergantung pada negara lain.
Saat ini pemerintah sedang berupaya mengembangkan kebijakan energi nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang akan habis dan mengotori lingkungan. Langkah awal kebijakan energi nasional tersebut sudah dimulai. Implementasi mandatori biodiesel sawit dari tahun lalu sebesar 15 persen (B-15) dan tahun 2016 ini sebesar 20 persen (B-20) dan mulai tahun 2020 naik menjadi B-30 merupakan bagian penting dari peralihan kebijakan tersebut. Kebijakan penggantian solar fosil dengan biodiesel sawit tersebut menjadi solusi untuk dapat mengurangi krisis energi yang di proyeksikan tahun 2045.
Berdasarkan proyeksi, menuju tahun 2045 (ketika 100 tahun NKRI) Indonesia memerlukan solar sekitar 90 juta kilo liter dan premium, sekitar 85 juta kilo liter. Jika 60 persen saja dari kebutuhan solar diganti dengan biodiesel (B-60) maka untuk biodiesel sawit saja, memerlukan CPO sekitar 54 juta ton. Sementara untuk kebutuhan bahan pangan (minyak goreng, mentega, specialty fat, dll) dan non pangan (sabun, shampo, pelumas, dll) diluar biodiesel, Indonesia diproyeksikan memerlukan sekitar 30 juta ton CPO pada tahun 2045. Sehingga untuk kebutuhan Indonesia (tanpa ekspor) saja diperlukan sekitar 84 juta ton CPO.
Selain menghasilkan biodiesel, sawit juga menghasilkan biopremium/bioethanol dari biomas sawit. Biopremium sawit dapat menggantikan premium fosil yang kita konsumsi saat ini. Memang pengganti premium yakni bioetanol, dapat dihasilkan dari berbagai sumber. Namun yang paling siap adalah dari biomas sawit karena selain sudah dihasilkan dalam jumlah besar juga penggunaanya tidak bersaing dengan biodiesel maupun untuk pangan.
Dengan luas kebun sawit 11 juta hektar saat ini baru mampu menghasilkan biomas (dalam bentuk bahan kering) sekitar 182 juta ton, jika diolah untuk menghasilkan bioethanol dapat menghasilkan sekitar 27 juta kilo liter bioethanol. Jika produktivitas naik menjadi 6 ton minyak tahun 2045 maka produksi biomas sawit diproyeksikan menjadi 273 juta ton atau setara dengan 45 juta kilo liter bioethanol. Sehingga tahun 2045 Indonesia juga mengalami kekurangan biopremium sebesar 40 juta kilo liter.
Tahun 2045 energi fosil dunia termasuk di Indonesia akan habis, sehingga kekurangan CPO berarti juga kekurangan energi biodiesel dan kekurangan biopremium, yang keduanya akan menciptakan krisisi energi.
Lagi-lagi kebun sawit menunjukan peran strategisnya bagi kehidupan. Kebun sawit memang salah satu anugrah terbesar yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Habis premium dari bawah tanah, tersedia premium di atas tanah yakni dari kebun sawit. Sumber: sawit.or.id/YIN