2018, 20 Februari
Share berita:

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan, impor raw sugar yang terus ditempuh Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan untuk membangun industri gula nasional tidak didasari fondasi yang kuat. Mestinya Indonesia belajar ke Thailand yang memiliki fondasi industri yang kuat.

Menurut Agus, berdasarkan tabel input output, kebijakan impor raw sugar 3,6 juta ton yang dilakukan pemerintah berpotensi menghilangkan lapangan pekerjaan di pedasaan sebesar 2,3 juta orang. Di off farm sebanyak 800 ribu orang berpotensi kehilangan mata pencarian. “Jadi ada 3,1 juta orang dapat kehilangan pekerjaan,” tukasnya kepada Media Perkebunan.

Selain itu, akibat impor membuat pendapatan petani berkurang. Sekalipun raw sugar ditujukan untuk industri makanan minuman (Mamin). Namun berdasarkan tabel input output terungkap bahwa hanya 4,1 persen raw sugar yang masuk ke industri Mamin. Apalagi jika dibandingkan sejak lima dekade terakhir, semakin kecil koefisiennya. “Artinya apa? Jangan-jangan bukan gula yang masuk ke sini tapi sweetener,” kata Agus menduga.

Agus menuturkan, jika melihat data antara tahun 2000, 2008, dan 2016, menunjukkan bahwa terjadinya kenaikan produksi gula dari 2 juta ton menjadi 2,6 juta ton. Berdasarkan data itu semestinya Indonesia dapat memproduksi gula di atas 7 juta ton. Namun kenyataannya produksi gula malah menurun menjadi 2,1 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa sistem produksi di dalam negeri melemah.

Jika dibandingkan dengan Thailand, produksi gula Indonesia semakin jauh tertinggal. Karena Thailand sudah memproduksi 12 juta ton gula, 2 juta ton digunakan untuk dalam negeri dan 10 juta ton diekspor. Hal ini karena fondasi kebijakan negara gajah putih itu kuat. Bahkan Thailand lebih maju lagi ke segmen baru yakni bio plastik dari tebu. “Kita masih berkutat mencari lahan,” tandas Agus. (selengkapknya baca di Media Perkebunan Edisi 171) YR

Baca Juga:  Rempah Indonesia Kembali Menembus Pasar Italia