2nd T-POMI
2024, 21 Mei
Share berita:

Pontianak, Mediaperkebunan.id – Ketika masih bekerja pada sebuah koperasi credit union besar di Kalbar, yang menjadi anggota Cocoa Sustainanbe Patnership, Yohana Tamara Yunisa penasaran karena Kalimantan tidak pernah dianggap sebagai penghasil kakao. Padahal kakao adalah tanaman hutan hujan tropis dan Kalimantan adalah wilayah yang paling hujan tropis di Indonesia.

“Saya bilang dalam pertemuan ini suatu saat Kalimantan menjadi produsen kakao. Di Kalimantan Barat sebenarnya banyak kebun kakao terlantar yang ditanam di kebun karet, kebun petai dan lain-lain. Petani tidak tahu memasarkan kemana dan harga rendah membuat kebun itu terlantar,” katanya.

Koperasi Credit Union di Kalbar besar karena anggota sebagian besar petani. Ketika koperasi mencari pasar untuk kakao Kalbar ke Jawa dan Bali mereka minta jumlah minimal pengiriman yang tidak bisa dipenuhi karena terbatasnya volume biji kakao yang dihasilkan. Petani tidak bisa diminta memperluas  kakaonya, karena sekarang yang sedikit saja tidak ada yang beli.

“Dengan volume yang terbatas maka pembeli biji kakao yang tepat  adalah UMKM. Saya keluar dari koperasi dan membuat UMKM Kakao dengan nama Kalara Borneo dengan produksi cokelat bar dan cokelat baking dengan single origin Kakao dari Kabupaten Sintang,” katanya.

Tanpa latar belakang kuliner, Yunisa mencoba membuat produk kakao dan sering gagal. Sering membaca jurnal-jurnal akademik pengolahan kakao dan dipraktekan akhirnya mampu membuat cokelat bar dan cokelat baking. Biji kakao didapat dari 5 ha kebun kakao ditengah karet milik petani Kabupaten Sintang.

Dengan volume kecil maka pemasaran Kalara Borneo menyasar B to B yaitu hotel, restoran, kafe dan bakery. Cokelat yang dihasilkan Kalara Borneo berbeda dengan produk lain karena kandungan lemaknya masih ada. Biasanya lemaknya diekstrak karena harganya mahal, Rp250.000/liter untuk bahan kosmetik.

Lemak kakao banyak mengandung antioksidan. Kalara Borneo masih mempertahankan lemak ini, ditambah bahan lain yang berasal dari tanaman. Untuk dark chocolate menggunakan gula aren, sedang mild less sugar. “Kita ingin cokelat yang bisa dinikmati siapa saja seperti orang yang berpenyakit diabetes, rasa tetap enak tetapi sehat. Harga juga terjangkau karena kami ingin petani kakao juga bisa merasakan cokelat yang bahan bakunya berasal dari kebun mereka sendiri,” katanya.

Baca Juga:  PERLU DIBENTUK KONSORSIUM PESTALOTIOPSIS NASIONAL

Saat ini dengan pasokan dari 13 ha kakao di  kebun karet petani Kabupaten Sintang,  Kalara Bornea mengolah 100 kg kakao/bulan , masih jauh dibawah kapasitas mesin produksi yang dimiliki. Karena bahan baku kurang maka Yunisa juga masuk ke hulu.  Dengan harga karet yang rendah, petani didorong diversifikasi dengan menanam kakao di kebun karet.

“Awalnya fokus di Sintang. Tetapi kabupaten ini sering banjir, setahun sampai 2 kali karena sungai yang meluap sehingga kebun terendam. Sekarang ekspansi di kabupaten lain di Kalbar. Menggunakan klon unggul dari Puslitkoka yaitu MCC 01, MCC 02, Sulawesi 01, Sulawesi 02 yang sudah berbuah pada umur 18 bulan, dibandingkan dengan kakao petani yang belum terindentifikasi yang berbuah pada umur 3-5 tahun,” katanya.

Petani juga dibimbing untuk melakukan fermentasi, dan bijinya dibeli dengan harga 3 kali lipat dari biji kakao non fermentasi. Dengan harga tinggi petani semangat ke kebun untuk melakukan pemangkasan tiap 3 bulan sekali dan membersihkan buah busuk sehingga tidak jadi sarang hama penyakit.