Akankah sawit makin terancam pada masa pemerintahan Joe Biden? Pertanyaan ini terus mengganggu pikiran para pelaku sawit khususnya di Indonesia dan Malasya.
Dengan Joe Biden menjadi presiden Amerika Serikat ( AS) menggantikan Donald Trump, tampaknya disambut gembira oleh NGO lingkungan. Pasalnya, berbeda dengan Donald Trump yang tidak pro- lingkungan, pemerintahan J. Biden dalam visi-misinya memberi dukungan penuh pada agenda lingkungan global khususnya perubahan iklim ( climate change).
Tidak hanya memperbarui komitmen AS pada Paris Agreement yang dibekukan selama pemerintahan Donald Trump, presiden AS ke 46 tersebut juga memasang target ambisius bahwa AS akan menjadi negara zero net emisi menuju tahun 2050. Target tersebut dilakukan karena AS saat ini adalah emiter terbesar kedua dunia setelah Uni Eropa.
Dukungan J. Biden pada agenda perubahan iklim global tersebut dinilai memberi energi baru bagi NGO lingkungan yang acapkali menuduh sawit terpapar masalah lingkungan. Bahkan NGO bisa saja secara agresif “ menunggangi ” visi-misi J. Biden tersebut untuk lebih intensif menggempur sawit.
Selain itu, banyak pihak juga yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan Joe Biden sendiri juga tidak akan lebih ramah terhadap minyak sawit. Kekhawatiran tersebut dapat dipahami bila bercermin dari sikap AS terhadap minyak sawit selama ini.
Pertama, Tahun 1970 an, American Soybean Asociation ( ASA) adalah yang pertama sekali menuduh minyak tropis ( minyak kelapa dan minyak sawit) mengandung kolesterol, Kedua, kebijakan RFS ( Renewable Fuel System) tahun 2012 yang menilai minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel tidak memenuhi syarat RFS yakni menghemat emisi minimal 20 persen, Ketiga, kasus IPOP ( Indonesia Palm Oil Pledge) tahun 2014 dimana NGO bersama Duta besar AS di Indonesia memaksa the top six produsen sawit dari Indonesia mematuhi dan memberlakukan No Peat dan No deforestasi pada rantai pasok CPO, Keempat, Tuduhan subsidi biodiesel sawit tahun 2017 dan kelima, tahun 2019 larangan Bea Cukai AS impor minyak sawit dengan tuduhan perkebunan sawit mempekerjakan pekerja anak dan melanggar hak perempuan.
Jejak sikap AS terhadap minyak sawit di atas memang sulit untuk meyakini bahwa AS dibawah pemerintahan Joe Biden akan lebih ramah pada minyak sawit. Isu lingkungan diperkirakan akan tetap dan bahkan semakin intensif digunakan sebagai tameng kebijakan untuk menghempang laju masuknya minyak sawit ke AS.
Menghadapi segala kemungkinan yang terjadi kedepan, Indonesia dan Malasya harus sedini mungkin menyiapkan “ kuda-kuda”. Kombinasi penguatan hilirisasi domestik, diplomasi perdagangan dan kampanye positif minyak sawit , perlu dilakukan lebih sistematis, dan massif baik secara bersama melalui CPOPC maupun masing- masing negara.
Menghadapi kebijakan negara- negara importir yang kurang bersahabat dengan minyak sawit tersebut, pasar minyak sawit Indonesia jangan tergantung pada negara- negara importir. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan hilirisasi minyak sawit domestik terutama untuk subsitusi impor seperti biodiesel, bensin sawit, bioplastik dan lain lain, sehingga mengurangi pasokan minyak sawit ke pasar dunia. Hanya dengan hilirisasi yang makin kuat di dalam negeri, minyak sawit Indonesia tidak lagi “ menari” dengan genderang dari negara importir.
Dalam konteks diplomasi perdagangan, antara Indonesia dengan AS sebetulnya telah bersifat take and give selama ini. Indonesia mengekspor minyak sawit sekitar 1.5 juta ton ke AS. Sebaliknya Indonesia mengimpor kedelai sekitar 2.5 juta ton setiap tahun untuk tempe, tahu dan pakan ternak. Perdagangan bilateral yang saling menguntungkan tersebut perlu dipertahan dan dijadikan platform diplomasi dagang antara Indonesia dengan AS.
Kampanye positif minyak sawit perlu lebih diintensifkan dan dikaitkan dengan Sustainable Development Goals ( SDGs). Bagaimana dan berapa besar kontribusi industri minyak sawit dalam pencapaian tujuan tujuan SDGs perlu menjadi platform kampanye positif minyak sawit kedepan.
( Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy ( PASPI))