Jakarta, mediaperkebunan.id – Direktur Pengembangan Kerja Sama Ekspor, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Marolop Nainggolan menambahkan, pemerintah Jepang tengah membangun 90 pembangkit listrik tenaga biomassa di Jepang.
Namun, masalah utama yang dihadapi yaitu dibutuhkannya pasokan bahan bakar yang stabil dalam jangka waktu lama. Produk turunan dari kayu seperti cangkang sawit (palm kernel shell), tangkai kelapa sawit (palm husk), dan kayu pelet (woodpellet) berpotensi sebagai bahan bakar yang baik dalam industri biomass. Jepang menargetkan peningkatan energi terbarukannya sekitar 22—24 persen tahun 2030.
Di samping peluang yang begitu besar, lanjut Marolop, harga yang diberikan pelaku usaha Indonesia masih kurang kompetitif akibat besarnya pungutan ekspor yang fluktuatif. Hal ini mengakibatkan eksportir cangkang sawit kesulitan menandatangani kontrak penjualan yang umumnya dilakukan dalam jangka panjang.
“Untuk itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen mencari solusi dalam menjadikan sektor cangkang sawit sebagai komoditas siap ekspor dan berdaya saing dengan menghapus pungutan ekspor sebagai salah satu alternatif solusi,” jelas Marolop.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang sudah diolah Kemendag, total perdagangan Indonesia dan Jepang di tahun 2020 tercatat sebesar USD 2,32 miliar. Dari nilai tersebut, ekspor Indonesia ke Jepang tercatat sebesar USD 1,22 miliar dan impor Indonesia dari Jepang sebesar USD 1,09 miliar.
Seperti diketahui, bahwa ekspor cangkang sawit ke Jepang tahun 2016 mencapai 450 ribu ton dan ke Korea mencapai 400 ribu ton, dengan nilai total ekspor dari kedua negara tersebut mencapai lebih dari Rp 1 triliun. (YIN)