JANGAN TERJEBAK DENGAN SUSTAINABLE PALM OIL TAPI HARUS SUSTAINABLE VEGETABLE OIL
Jakarta, Mediaperkebunan.id
Menanggapi diskriminasi minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa (EU) pemerintah menuntut keadilan dalam konteks sustainable vegetable oil. Dimana seharusnya penekanan standarisasi diberlakukan menyeluruh untuk seluruh minyak nabati yang sama atau yang kompetitif juga pendekatan lingkungan hidup yang lebih holistik.
“Masalah lingkungan bukan hanya deforestasi walau deforestasi juga penting. Laju deforestasi di Indonesia sendiri menurun secara signifikan salah satunya didukung oleh keberhasilan inpres moratorium,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar dalam webinar #INAPalmoil Talkshow.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh laporan World Resources Institute (WRI) mengenai laju deforestasi yang terjadi di Indonesia terus menurun, sementara negara-negara di Eropa dan Australia naik hingga 10%. Indonesia juga terus menjaga komitmennya dalam penurunan emisi yang saat ini telah mencapai 29% dari dari kondisi semula, dan akan ditingkatkan penurunannya hingga 41% dengan dukungan internasional.
“Dari laporan mengenai comparable study tersebut dapat terlihat sawit telah berkontribusi terhadap penurunan karbondioksida (CO2) sedangkan rapeseed dan minyak nabati lainnya tidak kontributif dalam pengurangan CO2,” tegas Mahendra.
Kedelai dan rape seed harus dihitung juga dampaknya terhadap lingkungan. Kedua jenis tanaman minyak nabati ini ditanam secara intensif dengan penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang banyak sehingga mengakibatkan polusi pada tanah dan perairan di sekitarnya. “Jadi semua aspek lingkungan diperhatikan, jangan terus membahas deforestasi,” katanya.
Lebih lanjut, Mahendra memaparkan sejak tahun 1995 komoditas sawit telah menerapkan dan menaati hampir 700 jenis sertifikasi, sementara untuk minyak rapeseed, kedelai ataupun minyak matahari hanya 30 sertifikasi dalam periode yang sama. Segala requirement yang telah ditaati melalui beragam sertifikasi tersebut tidak menyelesaikan diskriminasi terhadap sawit.
Menurutnya untuk melawan diskriminasi komoditas sawit terutama kebijakan yang akan mem-phase out komoditas ini oleh Uni Eropa. Saat ini, pemerintah melalui ASEAN melakukan pendekatan holistik untuk membawa komoditas sawit dalam pembandingan minyak nabati yang keberlanjutan melalui studi berbasis ilmiah di ASEAN maupun negara-negara produsen lainnya. Sementara, SDGs menjadi tolak ukur utama dalam mempromosikan pendekatan yang berimbang antara pembangunan ekonomi, kemajuan sosial dan lingkungan hidup, bukan 1-2 ukuran yang dibuat sendiri tanpa kesepakatan internasional seperti RED dan ILUC.
Hingga saat ini, perundingan minyak nabati yang berkelanjutan terus digulirkan melalui Joint Working Group yang dibentuk setelah penandatanganan EU-ASEAN Strategic Partnership pada desember lalu. Sepuluh negara yang tergabung dalam ASEAN sepakat mengusung kepentingan untuk sektor pertanian, maupun masyarakat pedesaan (rural communities), karena esensi dari sektor pertanian dan minyak nabati bagi ekonomi negara ASEAN utamanya di kawasan pedesaan sangat penting.
“Indonesia dan Malaysia membawa kepentingan minyak sawit didukung Thailand dan Filipina. Sedang Filipina 3 negara lain yaitu Vietnam, Laos , Kamboja membawa kepentingan minyak kelapa. Kita dukung karena kita juga penghasil minyak kelapa cukup besar. Minyak kelapa juga mengalami hambatan,” katanya.
Secara ekonomi, ASEAN merupakan salah satu wilayah penting di dunia baik dari segi potensi pasar juga sumber daya. Sementara dari segi politik, ASEAN menjadi kawasan yang strategis baik secara geopolitik maupun geostrategis. “Kita (ASEAN) bukanlah masalah, melainkan bagian daripada solusi. Kita pastinya merupakan solusi yang memimpin dengan contoh dan teladan yang baik,” tutup Mahendra Siregar dengan tegas