2020, 26 Januari
Share berita:

Jakarta, perkebunannews.com – Benar, bahwa tidak sedikit cukai dari industri hilir tembakau (IHT) yang masuk ke Negara. Tapi dari banyaknya pendapatan Negara yang telah masuk itu, berapa persen yang kembali ke petani untuk meningkatkan produksi. Padahal perkebunan tembakau juga bagian dari pertanian.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Sutarja kepada perkebunannews.com.

“Jadi sangat disayangkan kurangnya perhatian terhadap petani perkebunan tembakau. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) yang kembali ke petani untuk memperbaiki budidaya,” ucap Sutarja.

Contohnya, lanjut Sutarja, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 222 tahun 2018. Memang dalam pasal 2 disebutkan bahwa prinsip penggunaan DBHCT untuk program atau kegiatan peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkup sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai dan atau pemberantasan barang kena cukai illegal.

Akan tetapi, dalam pasal dua ayat dua disebutkan program atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat satu (atau diatas tadi-red),diprioritaskan untuk program Jaminan Kesehatan nasional paling sedikit sebesar 50 peren dari alokasi DBHCT yang diterima setiap daerah.

Artinya jika minimal 50 persen maka tidak sedikit daerah yeng menggunakan DBHCT lebih dari angka tersebut. Akibatnya dana yang seharusnya untuk budidaya petani guna meningkatkan kualitas bahan baku seperti yang tertera dalam pasal dua ayat satu menjadi sangat kecil.

Alhasil, Pemerintah Daerah (Pemda) seperti Dinas Perkebunan di daerah tidak mendapatkan anggaran untuk budidayanya. Kendati tembakau menyumbang cukup besar ke negara. “Jadi pasal 2 ayat 1 menjadi multi tafsir dan berdampak kepada rendahnya dana kepada petani,” risau Sutarja.

Baca Juga:  Kementerian Perdagangan Kembali Tegaskan Dasar di Balik Pengetatan Ekspor Minyak Jelantah

Ketiga, lanjut Sutarja, kurangnya sarana dan prasarana untuk budidaya perkebunan tembakau. Terbukti pengariran teknis untk mendukung lahan tembakau sangatlah minim. “Mengapa hanya tanaman pangan yang diperhatikan?” Tanya Sutarja.

Kemudian, Sutarja juga mempertanyakan mengapa saat ini banyak sekali lahan hak guna usaha (HGU) yang terbengkalai. Padahal jika lahan-lahan terbengkalai tersebut diserahkan kepada petani, maka lahan tersebut akan menjadi lahan produktif guna meningkatkan kesejahteraan petani yang jauh lebih baik lagi.

“Padahal Banyaknya HGU yang sudah terbengkalai jika diberikan ke petani bisa menambah pendapatan daerah dan petani,” saran Sutarja.

Melihat fakta-fakta tersebut, Sutarja berharap, sebaiknya dalam membuat peraturan seperti Peraturan Daerah (Perda) bisa melibatkan stake holder seperti kelompok petani atau koperasi petani. Hal itu agar peraturan yang diterbitkan tidak memberatkan salah satu pihak terlebih kepada petani.

Sebab, seperti diketahui bahwa tembakau selain sebagai penghasil pajak cukai terbesar juga sebagai komoditas ekspor. Contohnya tembakau hitam itu yang saat ini di ekspor sudah dalam bentuk rajangan hitam. Diantaranya ASEAN seperti Malaysia, Brunei dan kabarnya tembakau asal Indonesia yang diekspor ke Thailand diekspor kembali ke negara-negara Eropa.

“Arinya jika sampai saat ini petani masih menamam tembakau karena melalui budidaya tembakau masih menjadi tumpuan ekonimi petani. Lalu, suka tidak suka cukai dari produk olahan tembakau masih cukup tinggi dan bisa dikatakan hampir setiap tahun angkanya terus bertambah. Dan terakhir budidaya tembakau adalah sebagai warisan leluhur budaya bangsa,” pungkas Sutarja. YIN