Jakarta, mediaperkebunan.id – Indonesia adalah pemain utama dalam bisnis lada, termasuk pada hitam, di pasar global. Negara tercinta kita ini adalah produsen sekaligus eksportir terbesar untuk urusan perkebunan lada, baik dari era kerajaan-kerajaan Nusantara dulu hingga saat era modern sekarang.
Namun gelar top leader dalam bisnis lada skala global yang disandang oleh Indonesia terancam bakal pupus karena satu hal krusial, yaitu menjamurnya penyakit belang akibat virus dan penyakit busuk pangkal batang (BPB).
Para periset nasional, seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi BRIN, Rabu (7/5/2025), mengakui dua penyakit pada tanaman lada tersebut masih menjadi tantangan serius, khususnya dalam meningkat produktivitas lada di Indonesia.
Bahkan isu ini menjadi fokus utama dalam webinar EstCrops_Corner #13 yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Tanaman Perkebunan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang diselenggarakan belum lama ini.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Puji Lestari, menegaskan bahwa lada merupakan komoditas strategis nasional yang tetap menjadi prioritas riset.
“Indonesia masih menjadi salah satu eksportir utama lada hitam dunia. Namun, produksi terus menurun, terutama akibat penyakit belang yang disebabkan oleh virus dan BPB akibat cendawan Phytophthora capsici,” ucapnya.
Ia mencatat kerugian akibat BPB dapat mencapai 10 persen –15 persen per tahun, berdampak langsung pada pendapatan petani.
Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Setiari Marwanto, menambahkan bahwa peningkatan serangan penyakit didorong oleh degradasi lahan, perubahan iklim, dan lemahnya regenerasi varietas tahan penyakit.
Menurutnya, inovasi teknologi menjadi kunci dalam mengatasi penurunan produktivitas.
Peneliti Ahli Madya BRIN, Miftakhurohmah, menjelaskan bahwa penyakit belang pada lada di Indonesia disebabkan oleh virus Piper yellow mottle virus (PYMoV).
Virus ini mengakibatkan gejala mosaik kuning, belang, dan kerdil pada tanaman, dengan tingkat infeksi hingga 95 persen pada stek vegetatif. Penularan utamanya melalui bahan tanam dan vektor serangga seperti Planococcus minor dan Ferrisia virgata.
“Deteksi dini dan penggunaan bahan tanam bebas virus menjadi strategi utama pengendalian,” tegas Miftakhurohmah.
Ia juga menyoroti pentingnya metode molekuler seperti PCR dan RT-PCR untuk memastikan kesehatan bahan tanam.
Data lapangan dari Sukabumi, Lampung, dan Bangka menunjukkan bahwa peningkatan infeksi virus berbanding lurus dengan penurunan hasil panen, yang bisa mencapai lebih dari 20 persen.
Sementara itu, Dyah Manohara, Peneliti Ahli Utama BRIN, memaparkan pendekatan terpadu untuk mengatasi BPB, penyakit laten yang telah ditemukan sejak 1885.
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici dan menyerang seluruh bagian tanaman melalui tanah dan air.
Dyah menerangkan bahwa pengendalian BPB tidak cukup dengan satu metode. Ia menekankan pentingnya agen hayati seperti Trichoderma harzianum yang dapat menekan serangan hingga 50 persen dan mikoriza Glomus yang efektif di tahap pembibitan.
Selain itu, penggunaan fungisida nabati seperti tepung bunga cengkeh dan minyak atsiri eucalyptus dalam bentuk nano-formulasi menunjukkan hasil menjanjikan.
“Penggunaan fungisida nabati menjadi alternatif penting untuk mengurangi residu kimia pada komoditas ekspor,” ujarnya.
Webinar ini juga memaparkan hasil riset terbaru dari Supriadi, Peneliti Utama BRIN, mengenai potensi bakteri Serratia surfactantfaciens sebagai agens hayati baru.
Bakteri ini menghasilkan senyawa bioaktif seperti prodigiosin yang bersifat antibakteri, antijamur, dan antiserangga. Serratia surfactantfaciens menunjukkan efektivitas tinggi dalam menekan jamur akar putih pada karet, serta aman berdasarkan uji hemolisis dan hipersensitivitas.
‘’Kultur bakteri ini juga efektif terhadap larva Spodoptera litura dan Plutella xylostella,’’ pungkas Supriadi.
BRIN saat ini mengembangkan Serratia dalam dua formulasi siap pakai, yaitu cair (EC) dan tepung (WP), sebagai alternatif pestisida kimia yang ramah lingkungan.
Inisiatif ini sejalan dengan target nasional untuk mengurangi ketergantungan pada bahan kimia sintetis dalam pertanian.