Putrajaya, Mediaperkebunan id
Rangkaian Pertemuan International Tripartite Rubber Council (ITRC) ke-38 dan Related Meetings telah digelar mulai dari tanggal 18 hingga 22 September 2023 di Putrajaya, Malaysia. Hadir pada ITRC Meeting tersebut Delegasi Kementerian Pertanian yang dipimpin oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Heru Tri Widarto.
Heru mengatakan, ITRC kali ini mengupas tuntas terkait langkah-langkah konkret dalam menstabilkan harga karet alam global. Selain itu pertemuan terkait lainnya membahas isu keberlanjutan sektor karet alam, rencana implementasi European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) pada komoditas karet, kolaborasi negara anggota ITRC dalam pengembangan karet, dan informasi statistik karet alam.
“Pertemuan ini menyepakati pentingnya kolaborasi di antara Thailand, Indonesia, dan Malaysia dalam mengembangkan dan menyuarakan kepentingan sektor karet alam, khususnya terkait implementasi European Union Deforestation-free Regulation (EUDR,” kata Heru.
Delegasi pemerintah Indonesia pada rangkaian pertemuan ITRC diketuai oleh Direktur Perundingan Antar Kawasan dan Organisasi Internasional, Kementerian Perdagangan, dan terdiri dari unsur Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo). Beberapa pertemuan yang dihadiri para delegasi pemerintah Indonesia antara lain Pertemuan ke-14 Komite Cost of Production (CoP), Pertemuan ke-35 Komite Statistik, Pertemuan ke-4 Komite Sustainable Natural Rubber (SNR), Webinar terkait European Union Deforestation-free Regulation (EUDR), dan yang utama adalah Pertemuan ke-38 ITRC tahun 2023.
Dari pertemuan ini diketahui bahwa ketiga negara membahas mengenai biaya produksi karet alam ditiap negara. Indonesia mengusulkan agar IRCo sebagai lembaga konsorsium karet Internasional yang menjalankan organisasi ITRC dapat menyusun definisi terkait biaya produksi untuk memastikan bahwa pengisian informasi dan data oleh negara anggota memiliki pemahaman yang sama, termasuk definisi smallholders. Menindaklanjuti usulan Indonesia, Komite mendefinisikan smallholders, dimana Thailand mendefinisikan kepemilikan lahan petani 1,5 hingga 2 hektar, Indonesia mendefinisikan kepemilikan lahan petani di bawah 25 hektar, dan Malaysia mendefinisikan kepemilikan lahan petani dibawah atau sama dengan 40 hektar.
Dari hasil pertemuan ITRC ini, disampaikan komite juga menyepakati perlunya penetapan harga minimum karet alam pada kisaran USD 2/kg USD 2,5/kg dengan mempertimbangkan rata-rata biaya produksi ketiga negara sebesar USD 1,7/kg, keuntungan bagi petani, dan faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi. Penetapan harga minimum juga bertujuan untuk memastikan keberlanjutan produksi karet alam melalui kondisi yang ideal, yaitu harga jual di atas biaya produksi.
Pada pertemuan komite statistik, terungkap bahwa komite ini dibentuk untuk menyediakan data dan informasi karet alam yang akurat dan terpercaya sehingga bisa mendukung analisis dan upaya menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran karet alam.
Untuk perkembangan implementasi Supply Management Scheme (SMS), terutama pada aspek produksi, luas areal perkebunan, produktivitas dan peremajaan, komite sepakat bahwa target produksi TIM hingga 2025 tidak berubah yaitu Thailand sebesar 4,358 juta MT; Indonesia sebesar 3,671 MT; dan Malaysia sebesar 1,786 MT. Agar mekanisme SMS dapat berjalan efektif, maka ITRC perlu mempertimbangkan perluasan kerja sama dengan negara produsen karet alam lainnya, seperti Vietnam dan Kamboja.
Disampaikan juga bahwa Thailand, Indonesia, Malaysia (TIM) juga perlu mengembangkan R&D untuk mengatasi penyakit gugur daun yang menyerang tanaman karet, khususnya R&D dalam menciptakan varietas unggul karet yang tahan penyakit dan hama.
Heru menambahkan, sejalan dengan apa yang sudah dijalankan Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Perkebunan, agar para pekebun menerapkan diversifikasi pada kebunnya untuk membantu menambah pendapatan pekebun karet, salah satu upaya yang dapat dilakukan produsen karet di tengah kondisi harga yang fluktuatif melalui aktivitas ekonomi di perkebunan karet, seperti tumpang sari dengan cash crop (sayur, nanas), pemeliharaan ternak atau budidaya hewan ternak air dan sumber pendapatan lainnya seperti pupuk organik.
Tim juga melaporkan update kebijakan mengenai carbon credit. Untuk Indonesia melaporkan Peraturan OJK tentang Bursa Karbon dan rencana Peraturan Menteri Pertanian terkait kredit karbon.
“Indonesia menyoroti pentingnya memiliki model untuk memperkirakan permintaan dan pasokan karet alam di masa depan untuk memfasilitasi perumusan kebijakan oleh pemerintah negara anggota. Dengan perkiraan ini, negara anggota dapat merencanakan dan mengelola produksi secara strategis dengan tujuan memberikan pendapatan yang menguntungkan bagi petani kecil. Variabel utama yang diusulkan adalah foreign direct investment, tenaga kerja, ekspor, dan variabel lainnya seperti harga minyak dunia dan nilai tukar,” ujarnya.
Lebih lanjut Heru mengatakan, dari hasil ITRC ini, Pemerintah Indonesia perlu menindaklanjuti hal-hal yang telah dibahas dalam rangkaian pertemuan guna meningkatkan kerja sama di sektor karet alam, antara lain pemetaan pendekatan dan/atau kebijakan terkait sustainability di Indonesia, seperti perkembangan Sustainable Natural Rubber Platform Indonesia (SNARPI), dan Identifikasi komponen biaya yang ditimbulkan untuk memenuhi standar sustainability yang dipersyaratkan oleh negara konsumen atau buyer, serta koordinasi dalam rangka penambahan modal IRCo.