Banyak yang salah pengertian soal ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) seolah-olah bisa menjadi tanggung jawab siapa saja. “ISPO bagian dari tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai implementasi UU Perkebunan. Pelaksanaanya tidak bisa jalan sendiri, perlu dukungan Kemenko Perekonomian bila ada masalah lintas kementerian yang tidak bisa diselesaikan untuk memenuhi prinsip dan kriteria,” kata Dirjen Perkebunan, Bambang, pada konperensi pers Ditjenbun.
Misalnya kalau masuk kawasan hutan maka Ditjenbun akan membicarakan dengan KLHK, bila tidak selesai maka dibawa ke Menko Perekonomian. Masalah sertifikasi lahan, ganggunan usaha, HGU maka akan coba diselesaikan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kalau tidak bisa maka dibawa ke Menko Perekonomian.
Kunci menyelesaikan persoalan ISPO sekarang adalah bagaimana mempercepat ISPO bukan penguatan. “Mempercepat penyelesaian masalah yang menghambat ISPO seperti HGU, masuk dalam kawasan, sertifikasi, pembinaan petani dan kelembagaan. Dengan cara ini maka sertifikasi ISPO bisa dipercepat,” katanya.
Saat ini sertifikat ISPO yang sudah dikeluarkan 413 sertifikat, luas areal 2.350.318 ha atau 20,48% dari luas lahan sawit. Sedang produksi CPO 10.204.707 ha atau 26,99% dari produksi CPO nasional. ISPO akan semakin dipercaya kalau sudah 100%.
“ Posisi Kementan cq Ditjenbun tidak menolak penguatan, justru saat ini kami sedang melakukannya. Saat ini bekerjasama dengan Badan Sertifikasi Nasional untuk menyederhanakan prosesnya, supaya bisa lebih cepat tetapi tingkat keberterimaan internasonal tinggi,” katanya.
Penguatan yang digagas Kemenko Perekonomian adalah penambahan prinsip dan kriteria yaitu tracebility dan HAM. “Tracebility sekarang sedang menuju ke sana. Kita bukan berarti menolak tetapi dengan kemampuan sekarang belum bisa,” katanya.
Dari 5,6 juta ha kebun kelapa sawit rakyat, ada 1,7 juta ha yang diindikasikan masuk dalam kawasan hutan. Kalau tracebility ini masuk maka petani ini hanya bisa menjual TBS untuk biodiesel, itupun kalau tidak ditambahi persyaratan lainnya.
“Kita sudah berikan yang terbaik dengan 12 prinsip dan kriteria padahal rapeseed mereka tidak punya seperti ini, kenapa harus menurut dengan tambahan tracebility. Sebagai negara berdaulat kita harus lindungi rakyat yang 1,7 juta ha dan belum diselesaikan,” katanya.
Inpres no 8 tahun 2018 merupakan penyelesaian masalah ini. Dilakukan berbagai upaya sehingga 3 tahun kedepan tidak ada lagi kebun sawit dalam kawasan dan 5 tahun ke depan semua kebun baik milik masyarakat maupun perusahaan bersertfikat ISPO. Kalau sudah tercapai maka tracebility sudah siap dilaksanakan.
Mengenai HAM, memang tidak dicantumkan secara eksplisit dalam prinsip dan kriteria yang ada tetapi sudah tercakup. Contohnya kebebasan berserikat, kewajiban pemenuhan hak bagi karyawan.
“Kalau HAM masuk bila ada sengketa di kebun maka CPO kita bisa ditolak. Mereka sepertinya mau memeluk kita tetapi sebenarnya mau menonjok dengan tambahan ini,” katanya.