Mamuju, perkebunannews.com – Benar, bahwa kakao Indonesia pernah berjaya. Namun berjelannya waktu mulai meredup, tapi hal tersebut justru menjadi motivasi bagi Kementerian Pertanian untuk memulihkannya hingga kembali Berjaya melalui intercropping untuk mengoptimalkan lahan dan memberi nilai tambah lebih bagi petani.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menyarankan untuk dilakukan program intercropping untuk mengoptimalkan lahan dan memberi nilai tambah lebih bagi petani.
“Kalau coklat, kopi dan kelapa, ini kan katakanlah sudah siap ekspor. Maka untuk dibawah 100 hari, bisa ditanam papaya, kacang, dan juga ternak. Ini yang harus kita tuju besok bahwa mulai dari tanaman 100 hari kita miliki, tanaman jangka panjang juga kita miliki, Ini akan membangun “bargain” petani menjadi lebih kuat. Kami akan menuju ke sana dengan syarat mulai dari Gubernur sampai tingkat Camat harus bekerja sama,” ujar Syahrul.
Tidak hanya itu Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Enny Anggraeni Anwar pun optimis untuk mengembalikan kejayaan kakao Indonesia. Slah satunya pada tahun 2019, di Sulawesi Barat telah dilakukan peremajaan kakao seluas 270 hektar dan perluasan kopi 300 hektar.
“Luas lahan perkebunan di Sulbar yang berpotensi untuk pengembangan kakao, kopi, pala, lada, cengkeh, kelapa sawit ada 635,933 hektar,” ujar Enny.
Sementara itu, menurut Satf Ahli Bidang Bio Industri, Bambang mengatakan bahwa petani kakao masih mengelola usaha tani kakaonya dengan cara sub sistem, karena ketidakmampuan secara ekonomi dan kurangnya penyuluhan perkebunan.
Kakao seperti halnya kopi, menghendaki pemeliharaan yang lebih intensif dibanding komoditas perkebunanlainnya. Ketersediaan benih bermutu, pemupukan, naungan, pengairan, pemangkasan menjadi kunci sukses budidaya tanaman kakao.
Sebab, perlu disadari bahwa kelembagaan petani, terutama pada perkebunan rakyat hingga saat ini belum berperan dan berfungsi secara optimal. Lemahnya kelembagaan petani berdampak pada pengelolaan usaha tani dengan biaya tinggi dan kurang produktif. Pengadaan agro input mahal, pengendalian OPT sulit teratasi dan posisi tawar petani sangat lemah terlebih ketika memasarkan hasilnya. Kelembagaan petani yang telah ada diperkuat dan yang belum ada difasilitasi pembentukannya.
Kelompok dibangun dengan semangat dari, oleh, dan untuk masyarakat desa, menjaga budaya dan kearifan local serta tetap mempertahankan kaidah otonomi desa. Beberapa desa membentuk koperasi dan beberapa koperasi berhimpun dalam wadah korporasi.
Sehingga diperlukan komitmen, konsistensi, disiplin, kerjakeras dan semangat gotong royong untuk terus digelorakan. “Persatuan petani dan wadah kelompok tani menjadi kekuatakan yang mampu mengelola usaha tani kakaonya dengan lebih produktif dan berdaya saing setara dengan perusahaan berskala besar,” papar Bambang. YIN