Jakarta, mediaperkebunan.id – Kurangnya akses petani sawit swadaya terhadap benih unggul dan sarana budidaya yang berkelanjutan menjadi salah satu kendala utama saat ini. Padahal bibit sangat berpengaruh dalam meningkatkan hasil panen.
“Kualitas bibit sangat memengaruhi hasil panen, dan sayangnya banyak petani yang menggunakan bibit aspal atau kurang berkualitas,” ujar Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Dedi Junaedi saat membuka acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang didukung BPDPKS di Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Dedi menekankan bahwa investasi awal yang tinggi pada perkebunan sawit dapat menjadi beban bagi petani sawit, terutama jika benih yang ditanam tidak produktif. GPPI mendorong sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO dan ISPO sebagai standar untuk memasuki pasar ekspor dan menjamin harga jual yang lebih baik. Namun tantangan pendanaan masih menghambat petani swadaya untuk memenuhi standar sertifikasi tersebut.
“Saat ini pendampingan dari pemerintah sangat penting untuk memperkuat kelembagaan dan membekali petani dengan pengetahuan serta praktik budidaya terbaik,” ujar Dedi.
Sementara itu, Marselinus Andry dari Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan pentingnya penguatan legalitas dan kelembagaan untuk mendukung petani sawit skala kecil. Menurut Marselinus, sebagian besar petani sawit swadaya di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala terkait kepemilikan lahan dan posisi tawar dalam rantai pasok sawit.
Dengan masih banyaknya petani yang hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), SPKS berupaya membantu para petani untuk mendapatkan hak kepemilikan yang lebih kuat melalui pendataan dan sertifikasi lahan.
Marselinus menguraikan lima tahapan yang diinisiasi SPKS untuk membantu petani sawit. Pertama, SPKS melakukan pendataan dan pemetaan kebun sawit milik petani dengan memanfaatkan teknologi GPS dan smartphone.
SPKS juga mendampingi petani dalam pengurusan legalitas lahan dan legalitas usaha, seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang penting untuk memperoleh hak kepemilikan yang lebih formal. “Kami juga membantu mereka membangun kelembagaan seperti koperasi, yang dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam rantai pasok industri sawit,” jelas Marselinus. Direktur Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE), Nugroho Kristono, mengungkapkan, pentingnya peran perguruan tinggi dalam membangun sumber daya manusia (SDM) di sektor kelapa sawit.
Sebagai satu-satunya politeknik yang berfokus pada industri sawit, CWE kini menjadi pusat pelatihan SDM sawit yang andal, berkat peran aktif para pendirinya yang berdedikasi.
“Politeknik CWE berdiri dengan dukungan kuat dari para pendirinya, yang menginginkan pendidikan berkualitas untuk putra-putri petani dari seluruh Nusantara,” papar Nugroho. Saat ini, kata Nugroho, Politeknik CWE memiliki 970 mahasiswa, dan 98 persen di antaranya berasal dari keluarga petani sawit dari Sabang hingga Merauke.
Nugroho juga menyinggung peningkatan jumlah kampus dan lembaga pelatihan sawit di Indonesia sejak tahun 2016. Nugroho mengapresiasi dukungan pemerintah dalam membangun SDM sawit melalui berbagai program kerja sama, termasuk program yang melibatkan 23 kampus pelaksana program pelatihan sawit. Hal ini diharapkan mampu memperkuat keterampilan dan keahlian generasi muda agar siap bersaing di industri kelapa sawit.