Petani selalu serba salah jika terjadi penurunan produksi, tapi disaat produksi tinggi petani tidak merasakan keuntungannya, untuk itu petani menuntut enam hal kepada pemerintah.
Petani kakao dari berbagai daerah diantaranya dari Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur dan Bali berkumpul di Jakarta untuk menyatakan sikap dan menuntut kepada pemerintah. Hal ini dilakukan agar petani mendapatkan nilai tambah disaat produksi tinggi.
“Jadi melalui tuntutan ini maka petani bisa lebih dihargai dan tidak selalu disalahkan,” kata seluruh petani kakao Indonesia yaitu Adi Pernama petai kakao asal Bali, Umar petani kakao asal Sulawesi Tenggara, H Burhannudin petani kakao asal Sulawesi Barat, Ilyas petani kakao asal Sulawesi Selatan, dan
Arif Zamroni petani asal Jawa Timur yang juga sebakai Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) dalam konferensi pers (4/2).
Adapun tuntutan tersebut, Arif menjabarkan, pertama petani kakao Indonesia menuntut perbedaan harga kakao antara yang fermentasi dengan yang asalan minimal 3000/kg lebih tinggi kakao fermentasi ditingkat petani bukan ditingkat pedagang. Sebab selama ini perbedaan harga antara kakao fermentasi dengan yang asalan hanya ditingkat pedagang. Alhasil petani tidak mendapatkan keuntungan meski sudah melakukan fermentasi.
Kedua, petani mengininkan sertifikasi untuk kakao sebaiknya dilakukan oleh pemerintah bukan oleh perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun lembaga asing. “Jangan hanya kelapa sawit saja yang ada sertifikasinya, tapi petani kakao juga memerlukan sertifikasi kakao berkelanjutan,” terang Arif.
Keempat, lanjut Arif, petani menginginkan agar pemerintah melidungi pemerintah melindungi kelembagaan petani dari pihak asing yang ingin merusak kelembgagaan petani yang sudah ada. Sebab biasanya pihak asing melalui LSM masuk ke tingkat petani untuk mememberikan bantuan kepada petani tanpa melalui kelembagaan atau kelompok tani. Alhasil petani akan menuruti pihak LSM tersebut.
Kelima, petani sebenarnya tidak hanya membutuhkan bantuan fisik seperti benih, pupuk dan pestisida tapi juga peningkatan sumber daya manusia (SDM). Tapi pendampingan SDM yang berkelanjutan, bukanlah SDM yang bersifat program. “Karena biasanya kalau bersifat program, jika berakhirnya program maka berakhir pula pendampingan kepada petani,”keluh Arif.
Keenam, menurut Arif, hal yang tidak kalah paling yaitu petani menolak pembelian kakao basah yang tidak melibatkan kelompok tani atau kelembagaan petani. hal ini karena bisa merusak kelembagaan petani yang sudah ada. Biasanya pihak asing melalui LSM, perusahaan ataupun tengkulak biasanya datang langsung ke petani untuk membeli petani basah tanpa melalui kelompok tani.
Alhasil dengan pembelian kakao basah bisa merusak hubungan antar petani. lebih fdari itu dengan pembelian kakao basah tanpa melalui kelompok, hal itu bisa merusak harga biji kakao yang sudah difermentasi. Adapun metode pembeliannya biasnya LSM, perusahaan, ataupun tengkulak membeli kakao secara borongan walapun masih berada dipohon atau belum dipanen.
Terakhir, petani mengingnkan pajak ekspor bisa dikembalikan ke petani. Hal ini karena melalui pajak ekspor yang dikembalikan ke patani bisa dijadikan sebagai insentif untuk pembelian kakao berfermentasi. Sebab melalui insentif fermentasi yang diberikan kepada petani bisa membuat gairah petani untuk melakukan fermentasi tanpa harus dianjurkan.
Tidak hanya itu melalui pajak ekspor yang diberikan ke petani maka bisa digunakan untuk intesifikasi ataupun replanting. Sebab hal tersebut sudah dilakukan pada komoditas kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang menggunakan dana pungutan ekspor yang dikembalikan kepada petani.
Hal ini perlu dilakukan karena pajak ekspor sudah dilakukan dari tahun 2007 dan jika dikembalikan ke petani maka bukan tidak mungkin akan menambah kualitas dan kuantitas dari biji yang dihasilkan. “Untuk itu, kami berharap pajak tersebut dikembalikan ke petani,” tegas Arif.
Melalui tujuh tuntutan tersebut, Arif berharap, bisa diterima oleh pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan. Sehingga kedepan petani kakao akan lebih mandiri dan bermartabat. YIN
Baca juga: 183.910 HA Buat Pengembangan Kakao Berkelanjutan Tahun 2016