2023, 3 April
Share berita:

Industri hilir kelapa sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Paulus Tjakrawan mengungkapkan program biodiesel telah mencapai bauran 35% yang diharapkan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.  Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 Juta Kiloliter yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.

“Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergy lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit,” ujar Paulus.

Semenetara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Rapolo Hutabarat, mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi pandemi karena perlu kehati-hatian dalam penetapan kebijakan. Indonesia perlu bersyukur dianugerahi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku utama dari produk oleokimia yang membantu daya saing industri.

“Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton di mana lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit,” ujar Rapolo.

Menurut Rapolo, Indonesia sangat beruntung memiliki sentra produksi oleokimia di dalam negeri karena sangat bermanfaat di masa pandemic kemarin terutama bagi produk disinfektan dan kebersihan tubuh seperti sabun. Seiring pemulihan ekonomi, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022. Negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa.

“Tahun lalu nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar atau rerata Rp 83 triliun lebih. Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia,” jelas Rapolo.

Baca Juga:  POLA INTI PLASMA HARUS DILANJUTKAN

Kinerja positif oleokimia, diakui Rapolo, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Jadi, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024.”Semoga kebijakan ini terus bergulir dan kami lihat Kementerian ESDM, Perindustrian sangat mendukung implementasi harga gas 6 dolar per mmbtu bagi oleokimia. Hingga sekarang, tidak ada PHK di sektor oleokimia bahkan terus bertambah penyerapan tenaga kerja,” jelas Rapolo.

Di sektor oleokimia, diakui Rapolo, bahwa produk oleokimia ke Uni Eropa dikenakan bea masuk anti dumping dengan kisaran 15%-46%. Tarif ini sudah mulai diberlakukan pada Desember 2022 akibatnya anggota APOLIN kesulitan menembus pasar Eropa.

“Tahun lalu, ekspor oleokimia ke Eropa sebesar 1 miliar dolar. Dari jumlah tadi, produk fatty acid menyumbang 330 juta dolar. Dengan hambatan tarif ini, kami sudah sampaikan kepada kementerian terkait memang saat ini langkah paling soft interim review. Untuk langkah ke WTO, ini harus dikaji bersama antara pelaku usaha dengan pemerintah,” jelas Rapolo.

Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menjelaskan bahwa di kuartal pertama tahun ini tren masih di bawah tren periode sama tahun lalu. Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati sebesar 2% menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitupula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas US$ 1000/ton.

“Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target Domestic Market Obligation (DMO) sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022 di mana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi. Dampak berikutnya, pasokan minyakita berkurang lantaran dana subsidi minyakita itu dari ekspor,” jelas Sahat.

Baca Juga:  Lahan Gambut Layak Digunakan

Sahat mengusulkan DMO tidak lagi tepat menggerakkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Sebaiknya pemerintah fokus membantu masyarakat kurang mampu sekitar 33 juta orang di mana kebutuhan minyak goreng murah sekitar 42 juta kiloliter. Syaratnya, pemerintah melalui Bulog yang memegang distribusi minyak goreng kepada masyarakat kurang mampu.

Untuk itulah, Sahat mengusulkan kebijakan penundaan bea keluar (BK) crude palm oil (CPO) ini perlu dilakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global. Apabila bea keluar tetap dijalankan, maka stok minyak sawit di dalam bakalan over suplai dan tanki penuh. 

“Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global,” ucap Sahat.

Ketiga asosiasi industri kelapa sawit ini mengakui masih adanya hambatan dagang kepada produk hilir sawit. Paulus Tjakrawan mengakui  Indonesia masih menunggu hasil gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) yang ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO melalui pendaftaran dengan kode WT/DS 593. Proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala antara lain kekosongan hakim juri/arbitrator di appellate body atau badan banding. Minimnya hakim juri ini akibat  blokade penunjukkan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.