Jakarta, Mediaperkebunan.id
Kebijakan EUDR (European Union Deforestation Regulation) pasti akan menganggu petani. Saat ini lewat gugus tugas konsultasi bersama EU, Indonesia memperjuangkan supaya aturan masuk Eropa jangan terlalu detil, untuk minyak kelapa sawit cukup ISPO saja dan tidak perlu tracking. Deputi Menko Perekonomian bidang Pangan dan Agribinis, Musdhalifah Machmud menyatakan hal ini pada Seminar Nasional “Keterpaduan Hulu-Hilir Untuk Meningkatkan Produksi Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Bersertifikat Di Pasar Global” yang diselenggarakan Media Perkebunan.
Biaya yang dibebankan untuk inspeksi tidak dibebankan kepada konsumen kecuali mereka mau membeli dengan harga premium. Sama dengan sertifikat SVLK (Sistim Verifikasi Legalitas Kayu) yang dibuat bekerjasama dengan Uni Eropa, ternyata setelah berlaku mereka lebih suka membeli dari negara pesaing yang tidak punya sertifikat SVLK. Kayu bersertifikat SVLK asal Indonesia juga harganya tidak premium.
Beban pemeriksaan pasti pada ujungnya ditanggung petani, pada kelapa sawit berimbas pada turunnya harga TBS. Indonesia minta jangan diperiksa detil, cukup dengan sertifikat ISPO saja sudah boleh masuk.
Indonesia sebagai negara berdaulat keberatan juga dengan Uni Eropa yang membuat rating low risk, standar risk dan high risk, padahal bukan lembaga rating. Indonesia akan tetap bertahan sebagai negara low risk karena tutupan hutan masih besar, dari 188,6 juta ha yang termasuk kawasan hutan mencapai 122 juta ha, sisanya hanya 60 juta ha yang dimanfaatkan. Indonesia juga terbukti mampu menekan deforestasi.
Apa yang dilakukan UE pada ujungnya tetap persaingan dagang. Dulu kelapa pernah jadi korban yang sekarang diakui bahwa scientific base tidak benar. Sekarang EUDR menyasar kelapa sawit, karet, kopi, kakao, kayu. Sedang daging dan kedelai membidik Brasil sebagai produsen utama.
Indonesia sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu 55% dari produksi dunia dan pemegang market share terbesar didunia (59,66%), dengan posisi yang sangat kuat sebenarnya tidak perlu kuatir dengan apapun. Tidak perlu juga berkonflik dengan produsen besar lainnya yaitu Malaysia. Semua persoalan bisa diselesaikan di CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countires). Bersama CPOPC negara-negara produsen harus bekerjasama untuk menghadapi berbagai hambatan.
Indonesia sadar masih banyak yang perlu disempurnakan dalam hal tata kelola sawit sehingga membuat Inpres nomor 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB). Ada 14 kementerian/lembaga yang terlibat. Pemda , perusahaan, organisasi masyarakat sipil juga terlibat.
Saat ini pekerjaan deputi bidag Pangan dan Agribinis Kemenko Perekonomian didominasi oleh sawit karena penting dan strategisnya komoditas ini bagi Indonesia. Kemenko Perekonomian tidak masuk terlalu teknis karena bukan kapasitasnya tetapi mendorong semua pihak supaya kelapa sawit benar-benar secara optimal memberikan kesejahteraan rakyat,
ISPO misalnya saat ini ada ISPO untuk kebun sampai PKS yang prinsip dan kriterianya ditentukan oleh Kementerian Pertanian. Setelah CPO diolah jadi minyak goreng dan produk jadinya maka akan ada ISPO yang disusun oleh Kemenperin.
“Kita tidak ingin ada ISPO Kementan, ISPO Kemenperin dan lain-lain. Semuanya jadi satu saja yaitu ISPO. Hulu hilir terintegrasi dalam satu kesatuan,” katanya.