Surabaya, mediaperkebunan.id – Pemerintah Indonesia diminta untuk bijak melangkah dalam menjalani keikutsertaannya pada organisasi Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) dan juga menjalankan proyek Danantara.
Hal tersebut perlu dilakukan demi menjaga kepentingan nasional, termasuk yang terkait dengan proyek-proyek pembangunan pusat energi baru dan terbarukan (EBT) yang juga melibatkan perkebunan kelapa sawit.
Selaint bergabung dengan BRICS, sikap bijak Pemerintah Indonesia itu juga sangat diperlukan tatkala dalam proses pembangunan yang terkait dengan kepentingan nasional, ada persinggungan antara Basan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) dengan Bank Pembangunan Baru atau New Development Bank (NDB).
Perlu diketahui kalau NDB sendiri merupakan lembaga yang digagas BRICS sebagai alternatif dari Bank Dunia atau World Bank, sekaligus menggagas mata uang alternatif selain Dolar Amerika Serikat (AS).
Hal itu dikemukakan oleh peneliti hukum internasional sekaligus guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana, dalam sebuah diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (DKP/FGD) belum lama ini.
DKT tersebut, seperti dikutip Mediaperkebunan.id, Rabu (6/3/2025), digelar oleh para akademisi yang tergabung dalam Center of Studies in Industrial Development and Public Policy (CSID-PP) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Kegiatan DKT itu turut melibatkan para praktisi, akademisi, dan dari unsur pemerintah, yang dihelat secara langsung di Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS Surabaya.
Menurut Prof Hikmahanto Juwana, keberadaan BPI Danantara saat ini dapat menjadi kontrol pendukung pada beberapa proyek yang telah didanai oleh NDB.
Selain itu, sambung Prof Hikmahanto Juwana, keberadaan Danantara sekaligus dapat membantu memastikan bahwa dana NDB digunakan sesuai dengan rencana.
“Apabila berjalan sesuai dengan yang diekspektasikan, Instrumen yang digadang meningkatkan pembangunan nasional ini diharapkan dapat mengurangi risiko penyimpangan dana,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala CSID-PP ITS, Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng, menekankan pentingnya menjaga netralitas Indonesia atas keikutsertaannya dalam BRICS.
Arman Hakim Nasution menyebutkan, salah satu caranya adalah dengan memprioritaskan proyek-proyek yang tidak menimbulkan konflik antarnegara saat memanfaatkan dana yang berasal dari NDB.
“Seperti halnya proyek mengenai isu perubahan iklim atau climate change dan potensi EBT, termasuk berbasis kelapa sawit,” kata dosen Departemen Manajemen Bisnis ITS ini.
Sepakat dengan Arman, Chief Technology Officer (CTO) Sharia Digital Technology Dubai, Agustino Wibisono, juga menyebutkan bahwa isu mengenai potensi EBT, termasuk berbasis sawit, tengah menjadi fokus utama dunia.
Agustino Wibisono menerangkan, hal ini menjadi kesempatan emas untuk Indonesia yang memiliki potensi EBT yang sangat melimpah.
“Kesempatan ini dapat membuka peluang lebih bagi Indonesia memperkuat posisi dalam rantai pasok global,” beber Agustino Wibisono.
Tak hanya itu, Ia melanjutkan, lewat peluang sekaligus menunjukkan kontribusi lebih Indonesia dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dan mendorong ekonomi berkelanjutan.
Lebih mendalam, Agustino menegaskan, hal tersebut selaras dengan ambisi Indonesia mencapai komitmen Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 nanti.