2020, 20 Agustus
Share berita:

Efli Ramli, Dirut PT Mahligai Indococo Fiber yang juga Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia menyatakan Indonesia yang mempunyai kebun kelapa terluas di dunia tetapi hanya memenuhi 3% saja dari kebutuhan sabut kelapa dunia. Sebagian besar sabut kelapa terbuang begitu saja tanpa diolah, bahkan dibakar.

Hal ini dikatan Efli dalam webinar Forum Diskusi Kelapa dengan tema “Merebut Pasar Kelapa Dunia” yang diselenggarakan Media Perkebunan dan Sahabat Kelapa Indonesia. Dalam kesempatan itu juga dilakukan pelepasan secara virtual ekspor coco peat ke Jepang.

PT MIF yang berdiri tahun 2007 setiap bulan mengekspor 30 kontainer coco fiber dan 35 ton coco peat. Permintaan coco fiber China adalah 3.000 kontainer/tahun sedang Eropa Timur 200 kontainer. Permintaan coco peat China 3000 kontainer/tahun, Jepang 1500 kontainer, Korea 1500 kontainer, Itali 300 kontainer, Jerman 200 kontainer, Belgia/Belanda 300 kontainer, Israel 300 kontainer dan negara-negata Timur tengah 300 kontainer.

“Permintaan itu real hasil kunjungan saya ke negara itu, bukan mengambil data statistik. Saya pernah berkunjung sebuah kota di dekat Beijing, industri matras di sana selalu bertambah. Sabut kelapa digunakan sebagai bahan baku matras sehingga permintaanya naik terus, tetapi anehnya harganya fluktuatif sehingga saya pernah mengumumkan kepada seluruh anggota AISKI untuk stop ekspor dulu ketika harga rendah,” katanya.

PT Mahligai Indococo Fiber sendiri berdiri tahun 2007, memiliki 16 cluster produksi di empat provinsi yaitu Aceh, Sumatera Barat, Lampung dan Pangandaran. Kebutuhan sabut kelapa setara 6 juta butir kelapa/bulan. Petani binaan ada 250 orang, tenaga kerja 930 orang. Sabut kelapa adalah bahan baku industri matras, geotekstil, tali, karpet, keset, alas kandang kuda dan lain-lain.

Baca Juga:  APINDO SUMUT PROTES RESOLUSI SAWIT EROPA

Mesin-mesin yang digunakan terdiri dari mesin penggiling, rotary fiber dan press cocofiber dan cocopeat merupakan buatan sendiri, sehingga harganya lebih murah daripada mesin impor dari India.

Industri ini bisa dibangun dengan skala kecil dengan luas lahan 1 ha, tenaga kerja 65 orang, modal permesinan dan bangunan Rp500 juta, modal kerja Rp75 juta, kebutuhan bahan baku 15.000 butir/hari. Hasil produksi 2 ton coco fiber dan 3 ton coco peat perhari. Net profit Rp1,25 juta/hari dan BEP sekitar 15 bulan.

Supaya potensi sabut kelapa yang luar biasa ini bisa memenuhi kebutuhan dunia maka tiap sentra produksi kelapa harus didirikan industri ini. Industri ini harus dekat bahan baku. Efli sendiri siap melatih pelaku usaha agar memproduksi sabut kualitas ekspor.

NPemerintah juga perlu memberikan bantuan permodalan dan permesinan ke pelaku usaha industri untuk peningkatan volume industri. “Selama ini sudah banyak sebenarnya bantuan berupa mesin pengolah sabut. Namun petani banyak yang tidak mampu menggunakannya sehingga tidak berfungsi. ASIKI minta dilibatkan dalam pemberian bantuan itu sehingga bisa tepat dan berfungsi,” katanya.

Kualitas sabut Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Harga sabut juga sangat murah. Indonesia juga merupakan negara penghasil kelapa terbesar dan transportasi lewat tol laut sudah memadai. Ini adalah keunggulan Indonesia. “Sekarang banyak industri sabut India dan Srilanka minta petani menjual sabut ke mereka dengan cara dipress dulu,” katanya.