Jakarta, mediaperkebunan.id – India menurut peneliti INDEF (Institute for Development and of Economics and Finance) M.Fadhil Hasan, tetap menjadi tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia, menegaskan perannya yang vital dalam ketahanan pangan dan ekonomi kawasan. Meski pasar lain seperti Cina, Pakistan dan AS terus berkembang, dominasi India menegaskan bahwa sawit adalah koridor strategis yang menghubungkan kekuatan ekspor Indonesia dengan kebutuhan pangan India.
Tahun 2012-2018 ekspor minyak sawit Indonesia nilainya paling besar ke India, juga tahun 2020, 2022 dan 2024. Hanya tahun 2019, 2021 dan 2023 nilai ekspor ke China lebih besar. Nilai ekspor minyak sawit ke India tahun 2024 USD3.918,8 juta, China USD3.400,8 juta, Pakistan USD2.758,4 juta, USA USD1.557,6 juta, Belanda USD442,4 juta.
“Hal ini menunjukkan India sebagai pasar yang paling stabil dan strategis, bahkan saat terjadi fluktuasi harga global. Kenaikan signifikan juga terlihat di China dan Pakistan, namun dominasi India menegaskan peran sawit sebagai koridor penting yang menghubungkan kepentingan ekonomi Indonesia dengan ketahanan pangan India. Kondisi ini menegaskan urgensi penguatan kerjasama bilateral agar manfaat ekonomi dapat terus berkelanjutan,” kata Fadhil.
India menunjuka potensi pasar yang sangat besar dengan pertumbuhan PDB yang stabil, populasi yang terus meningkat, dan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama. Proyeksi peningkatan jumlah penduduk sampai 1,59 miliar jiwa pada tahun 2040 akan memperkuat kebutuhan minyak nabati, termasuk sawit.
Pasar minyak nabati India tahun 2018-2028 diproyeksikan tumbuh 4,79%/tahun, proyeksi tahun 2028 USD42,36 miliar didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga. Konsumsi minyak sawit paling dominan, jauh melebihi minyak kedelai dan rape seed.
Minyak sawit mendominasi impor minyak nabati India dibanding minyak kedelai, rape seed dan minyak nabati lainnya. Tren ini menegaskan peran strategis sawit dalam memenuhi kebutuhan pangan India yang semakin meningkat. Hambatan utama ekspor minyak sawit ke India adalah tarif yang cukup tinggi. Perubahan tarif dari tahun 2022 ke 2024 menunjukkan adanya dinamika kebijakan proteksionis untuk melindungi produksi domestik India.
India sendiri sejak 18 Agustus 2021 bertekad meningkatkan produksi sawit dengan total investasi 11,040 crore rupee atau sekitar USD1,239 juta. Memberi bantuan benih senilai 12.000-29.000 rupee /ha atau USD135,2 – 326,4/ha. Memberikan bantuan 250 rupee atau USD2,82 pertanaman yang diremajakan.
Target penanaman tahun 2019-2020 3,54 juta ha, 2025-2026 1 juta ha, 2029-2030 16,7 juta ha. Target produksi CPO 2019-2020 250.000 ton, 2025-2026 1,12 juta ton. Tahun 2019-2020 konsumsi minyak nabati 25 juta ton, impor 10,5 juta ton atau 58% dari konsumsi, dengan nilai impor USD9,6 miliar.
Tahun 2025-2026 impor ditargetkan turun 39% sedang permintaan naik 29%.India juga menerapkan viability price seperti harga minimum 14,3% dari harga rata-rata CPO tahunan. Berlaku mulai 1 November -31 Oktober tiap tahun dan akan berakhir 1 November 2037. Dukungan khusus pada wilayah Timur Laut dan Kepulauan Andaman berupa tambahan harga CPO 2% untuk menjamin pendapatan petani di wilayah itu sama dengan petani lain di India.

